Berita Utama

Covid-19 Telah Membunuh Satu Juta Orang

MANOKWARI, papuabaratnews.co – Pandemi Covid-19 terus mengganas. Menurut perhitungan kantor berita Reuters, Selasa (29/2/2020), jumlah kematian akibat Covid-19 di seluruh dunia kini sudah mencapai satu juta orang.

Covid-19 ini tak hanya menewaskan banyak orang dengan jumlah yang mencengangkan. Penyakit ini juga sudah menghancurkan perekonomian dunia, membuat sistem kesehatan berbagai negara kepayahan, dan mengubah kehidupan sehari-hari seluruh penduduk dunia.

Sebagai perbandingan, jumlah korban tewas akibat Covid-19 tahun ini saja sudah sampai dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah orang yang tewas setiap tahun akibat malaria.

Bahkan selama beberapa pekan terakhir ini saja, jumlah korban tewas akibat Covid-19 melonjak di sejumlah negara. “Jumlah kematiannya sudah mencapai tonggak yang menyedihkan,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam pernyataan tertulisnya.

Guterres menyebutkan jumlah kematian Covid-19 itu membuat pikiran seakan buntu. Meski menyesakkan dada, berbagai negara diimbau untuk tetap menjaga semangat dan mengingat kehidupan setiap individu.

Perkembangan pandemi Covid-19 mencengangkan karena hanya dalam waktu tiga bulan saja jumlah kematiannya melonjak dua kali lipat dari yang semula 500.000 orang. Kasus kematian pertama kali tercatat di China, awal Januari lalu.

Berdasarkan kalkulasi Reuters, dari jumlah kematian rata-rata di bulan September, lebih dari 5.400 orang tewas di seluruh dunia hanya dalam waktu 24 jam. Akibatnya, usaha pemakaman dan penguburan korban tewas yang sibuk bukan kepalang.

Jika dielaborasi lebih rinci, berarti sekitar 226 orang tewas setiap jamnya atau rata-rata ada 1 orang tewas gara-gara Covid-19 setiap 16 detik. Jika diandaikan kita menonton pertandingan sepak bola selama 90 menit, berarti rata-rata ada 340 orang yang tewas.

Infeksi

Jumlah korban tewas 1 juta orang itu, menurut para pakar, hanya perhitungan kasar. Jumlah yang sebenarnya diyakini jauh lebih banyak mengingat adanya kemungkinan salah hitung atau salah pencatatan atau bisa juga ada negara-negara yang tidak mau terbuka dengan jumlah korban yang riil.

Berbagai negara sudah melakukan banyak upaya untuk mencegah penyebaran Covid-19. Masalahnya, tetap saja ada perbedaan pendapat. Di satu sisi, ada yang mendukung kebijakan tegas terkait protokol kesehatan dan tindakan tegas lain seperti karantina atau pembatasan sosial.

Namun, di sisi lain ada yang tidak setuju karena lebih mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi. Ini yang membuat pendekatan penanganan Covid-19 berbeda di satu negara dengan yang lainnya.

Amerika Serikat, Brazil, dan India yang jumlah kematian akibat Covid-19 mencapai total 45 persen dari jumlah kematian di dunia sudah mencabut protokol kesehatan menjaga jarak fisik selama beberapa pekan terakhir ini.

“Rakyat AS harus mengantisipasi kasus akan naik beberapa hari ke depan,” kata Wakil Presiden AS Mike Pence sambil memperingatkan jumlah kematian di AS yang mencapai 205.132 orang dari 7,18 juta kasus yang ada per Senin lalu.

Di India, jumlah kasus Covid-19 per harinya termasuk yang paling tinggi di dunia dengan kasus baru rata-rata per hari sekitar 87.500 orang sejak awal September. Jika tidak ada penanganan segera, jumlah kasus di India akan melampaui AS pada akhir tahun ini. Ini karena pemerintahan Perdana Menteri India Narendra Modi akan mencabut kebijakan karantina atau pembatasan sosial demi memulihkan perekonomiannya.

Untuk saat ini, jumlah kematian di India mencapai 96.318 orang. Meski angkanya bertambah terus, penambahannya tidak secepat di AS, Inggris, dan Brazil. Bahkan India mengklaim penambahan jumlah kematiannya terendah sejak 3 Agustus lalu.

Di Eropa, jumlah kematiannya mencapai 25 persen dari total kematian dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan kasus ini dikhawatirkan akan terus bertambah terutama di wilayah Eropa Barat yang terpaksa harus juga menangani musim flu musim dingin.

WHO mengingatkan untuk menangani pandemi ini, semua negara tetap harus segera bertindak terutama bagi wilayah Amerika Latin.

Sementara di Indonesia, per Selasa (29/9/2020), jumlah kematian mencapai 10.601 orang. Presiden Joko Widodo menginstruksikan Komite Penanganan Covid-19 dan pemda agar lebih memilih pembatasan skala kecil dibandingkan dengan pembatasan sosial berskala besar. Pasalnya, pembatasan berskala besar justru akan merugikan banyak warga.

”Mini lockdown (pembatasan skala kecil) yang berulang itu akan lebih efektif, jangan sampai kita generalisir satu kota atau satu kabupaten, apalagi satu provinsi. Ini akan merugikan banyak orang,” ujar Presiden saat menyampaikan sambutan rapat virtual membahas laporan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, Senin (28/9/2020.

Pemakaman

Tingginya jumlah kematian memaksa proses pemakaman di berbagai negara berubah. Usaha-usaha pemakaman kelabakan menangani banyaknya orang yang tewas.

Tak seperti biasanya, kini keluarga dan rekan tak bisa lagi menghadiri pemakaman sanak saudara atau rekan yang tewas akibat kasus Covid-19.

Seperti di Israel, misalnya, tradisi agama Islam memandikan jenazah tidak lagi boleh dilakukan. Kini, jenazah juga harus langsung dibungkus dengan plastik lalu dimakamkan.

Tradisi Yahudi Shiwa dimana orang biasanya datang ke rumah dan berdoa bersama selama tujuh hari juga tidak diperbolehkan.

Di Italia, korban yang beragama Katolik juga langsung dimakamkan tanpa ada upacara atau doa dari pendeta terlebih dahulu.

Saking banyaknya korban yang tewas, pemerintah dan pengelola pemakaman di AS, Indonesia, Bolivia, Afrika Selatan, dan Yaman harus mencari lokasi-lokasi baru yang bisa diubah menjadi pemakaman. (RTR/RED)

**Artikel ini Sudah Terbit di Harian Papua Barat News Edisi Rabu 30 September 2020

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.