Berita Utama

Analisis Diperlukan untuk Mitigasi Bencana

JAKARTA – Peneliti physical oceanography and climate pada Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) Kementerian Kelautan dan Perikanan  Salvienty Makarim, mengatakan, analisis Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) serta Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tentang cuaca ekstrem belakangan ini tak perlu dipertentangkan.

Salvienty menilai perbedaan hasil permodelan di antara para peneliti kedua lembaga tersebut justru menambah khazanah keilmuan tentang fenomena iklim yang mempengaruhi Indonesia.

Doktor lulusan Xiamen University, Cina, yang menggeluti riset perubahan variabilitas iklim, menilai analisis tentang dinamika iklim perlu diperkaya. Pengayaan analisis itu diperlukan untuk menyiapkan langkah-langkah mitigasi terhadap berbagai potensi dampak cuaca ekstrem. “Memang, alam ini sedang bergerak,” kata Salvienty kepada Tempo, Rabu, 28 Desember 2022. “Kita perlu tinjauan yang komprehensif. Semakin banyak pakar Indonesia yang menyampaikan tinjauan mereka, itu jauh lebih baik.”

Sebelumnya, di tengah perkiraan cuaca ekstrem berlanjut hingga awal 2023, khalayak diramaikan oleh prediksi terjadinya badai besar yang melanda wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).

Senin lalu, Peneliti klimatologi pada Pusat Riset Iklim dan Teknologi Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin, mengungkapkan potensi terjadinya badai di Ibu Kota itu. Berbekal Satellite-based Disaster Early Warning System (Sadewa), platform peringatan dini yang dikembangkan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional—kini terintegrasi dalam BRIN—Erma mengidentifikasi adanya ancaman badai yang memanjang di Laut Jawa pada Rabu, 28 Desember 2022.

Erma menilai badai dahsyat itu berpotensi berpindah ke daratan lewat dua jalur, yakni angin baratan yang membawa hujan dari laut dan angin permukaan yang kuat. Dia mengimbau masyarakat agar mewaspadai potensi badai besar yang dapat berpusat di wilayah Jabodetabek tersebut.

Adapun BMKG, yang dua pekan terakhir terus memperbarui peringatan dini dampak cuaca ekstrem pada akhir tahun, tak sependapat dengan prakiraan tersebut. Simulasi BMKG mengidentifikasi potensi hujan dengan intensitas tinggi di wilayah Jabodetabek baru terjadi pada 30 Desember 2022. “Kemudian hati-hati dengan penggunaan istilah. Ada serangan badai, barangkali perlu diluruskan. Ini hujan lebat,” kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers pada Selasa (27/12/2022).

Meski begitu, Dwikorita menuturkan BMKG dan BRIN tengah bekerja sama untuk melakukan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Hujan buatan akan dilakukan di atas laut, sebelum awan merangsek ke daratan.

Perubahan Pola Iklim Perlu Diwaspadai

Menurut Salvienty, cuaca ekstrem pada akhir tahun ini tak bisa dilepaskan dari adanya fenomena perubahan pola iklim dalam beberapa waktu terakhir. Dia mencontohkan banyaknya hujan konveksi—dipicu oleh udara yang mengandung uap air naik akibat pemanasan—pada Juni hingga September lalu. “Ada suatu pola yang tak reguler,” ujarnya.

Fenomena pola yang tak reguler itu, kata Salvienty, perlu ditinjau dari pendekatan dinamika iklim yang juga telah berubah dari masa ke masa. Dia menilai diperlukan pengembangan permodelan prediksi untuk menghasilkan peringatan atau imbauan kepada masyarakat. “Permodelan yang kami gunakan perlu ditambahkan faktor-faktor lain karena tidak relevan lagi dengan pola tak reguler sekarang ini,” kata dia.

Salvienty mengatakan variabel perubahan iklim di Indonesia amat beragam. Suhu permukaan laut antara Samudra Hindia sisi barat dan selatan, misalnya, berbeda sehingga dikenal sebagai Indian Ocean Dipole. Dari arah Pasifik juga ada La Nina yang selalu membawa potensi hujan lebat. Sedangkan El Nino membawa kekeringan di Indonesia dan Australia. “Indeks saat ini menunjukkan La Nina masih kuat,” kata dia.

Pada sisi lain, data NOAA—satelit meteorologi seri ketiga milik Amerika Serikat—per 25 Desember lalu menunjukkan adanya arah angin dari Laut Cina berarak melewati perairan Pulau Kalimantan dan Selat Karimata. Angin tersebut membentuk garis badai alias squall-line yang berpotensi membawa hujan lebat dan petir.

Berbagai fenomena cuaca tersebut, kata Salvienty, berlangsung bersamaan pada Desember ini. “Cuaca ekstrem ini dipengaruhi dari angin utara, tidak hanya dari Pasifik dan Indian Ocean (Samudra Hindia),” kata Salvienty. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.