Berita Utama

Ancaman di Balik Rencana Investasi Asal China

SORONG – Saat memberikan kata sambutan dalam forum Rapat Koordinasi Teknis DPMPTSP se-Provinsi Papua Barat Daya, awal Agustus lalu, Menteri Bahlil mengatakan KEK Sorong terancam dicabut statusnya oleh pemerintah pusat jika terus tak merealisasi investasi pada akhir tahun ini. Namun dia menjamin pencabutan status itu tidak akan terjadi.

Menurut Bahlil, sejauh ini sudah ada calon investor asal Cina yang siap menanamkan modalnya untuk membangun smelter nikel di KEK Sorong. Calon investor itu juga telah meneken nota kesepahaman dengan Pemerintah Kabupaten Sorong sejak April lalu. “Tapi mereka minta jaminan bahan baku,” kata Bahlil di Sorong, 4 Agustus lalu, yang diunggah di website Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Karena itu, Bahlil menilai pengembangan KEK Sorong membutuhkan sejumlah langkah yang akan menjadi solusi bagi permasalahan jaminan bahan baku tersebut. Pertama, kata dia, urusan lahan harus diselesaikan. “Kedua, inventarisasi izin usaha pertambangan yang tidak dioptimalkan,” kata Bahlil. “Ketiga, bangun penghiliran di KEK, buat aturan pembatasan nikel agar tidak ke luar dari Sorong, tapi diolah di KEK. Pasti investor tertarik.”

Sebelumnya, pada Januari lalu, Pemerintah Kabupaten Sorong menyebutkan sudah ada lima investor asal Cina yang ingin menanamkan modalnya. Salah satu di antaranya adalah PT Hengsheng New Energy Material Indonesia.

Kepala Administrator KEK Sorong sekaligus Kepala Dinas Penanaman Modal Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Sorong, Salmon Samori, membenarkan ada sejumlah investor asal Cina yang sudah menandatangani kerja sama dengan Pemerintah Kabupaten dan PT Malamoi Olom Wobok (MOW), badan usaha milik daerah sebagai pengelola KEK Sorong. Sebagian investor yang menyatakan minat itu ingin membangun smelter nikel.

Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menilai desain proyek KEK Sorong sejak awal hanya memperhatikan kepentingan investasi dan meminggirkan masyarakat adat. Pola serupa, kata dia, juga terjadi di KEK lainnya karena pemerintah pusat memberikan banyak kemudahan lewat beragam kebijakan pro-investasi, terutama Undang-Undang Cipta Kerja.

Celakanya, Arie mengatakan, pengakuan atas masyarakat hukum adat sangat rendah di republik ini. “Pemerintah justru melegalkan praktik perampasan wilayah adat, yang disponsori oleh kepentingan investor dan oligarki,” kata Arie. “Mereka mengejar keuntungan tanpa mempedulikan hak masyarakat adat dan dampak investasi terhadap lingkungan.”

Menurut Arie, KEK Sorong jelas berpotensi merusak lingkungan hidup. KEK ini akan dikembangkan menjadi sentra pengolahan hasil industri kayu, perkebunan sawit, dan pertambangan nikel yang tersebar di wilayah kepala burung Papua, termasuk di kepulauan Raja Ampat. Sektor-sektor usaha itu merupakan pemicu utama kerusakan hutan dan laut.

Dalam catatan Greenpeace, saat ini luas konsesi pertambangan nikel di wilayah Papua dan Papua Barat mencapai 49 ribu hektare. “Jadi, proyek KEK Sorong ini tidak hanya mengancam wilayah Sorong, tapi juga menjadi pintu masuk kerusakan lebih besar karena mempercepat pengerukan sumber daya alam di Papua,” kata Arie. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.