Bahas Otonomi Papua, DPR Akan Pertimbangkan Hasil MK
JAKARTA – DPR pertimbangkan menunda pembahasan rancangan undang-undang tentang pembentukan daerah otonom baru Papua yang sebelumnya menjadi RUU inisiatif DPR. Penundaan pembahasan setidaknya hingga keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi terkait uji materi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
Saat menerima pimpinan Majelis Rakyat Papua dan Majelis Rakyat Papua Barat, Selasa (26/4/2022) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan penduduk asli Papua harus diberi kesempatan menyampaikan masukan atas kebijakan UU Otsus Papua dan pembentukan daerah otonomi baru (DOB) Papua. Masalah Otonomi baru Papua perlu dicarikan jalan keluarnya agar tak timbulkan eskalasi konflikbaru di Papua.
Dasco menyebutkan, ada dua poin aspirasi MRP dan MRP Papua Barat yang dicatat. Selain meminta penundaan pemekaran Papua, MRP juga mengevaluasi UU Otsus Papua agar transparan dan terbuka bagi MRP melaksanakan tugas sesuai UU. “Dengan masukan MRP, saya akan sampaikan pada pimpinan DPR lainnya, termasuk rekan-rekan di Komisi II agar pertimbangkan penundaan RUU DOB sampai ada putusan MK,“ ujar Dasco.
DPR, tambah Dasco, sebelumnya mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo terkait pembahasan RUU DOB Papua. Namun, hingga saat ini, DPR belum menerima surat presiden (surpres) untuk pembahasan RUU itu. “Tanpa ada surpres, RUU ini tidak akan bisa dibahas. Saya akan sampaikan ke DPR untuk menunda terlebih dahulu pembahasan ketiga RUU DOB sampai ada putusan MK,“ tuturnya.
Sebelumnya DPR telah menetapkan tiga RUU Pembentukan Provinsi Papua Selatan, RUU Papua Tengah, dan RUU Pegunungan Tengah, sebagai RUU inisiatif.
Menurut Timotius, alasan MRP menolak pemekaran Papua karena pemerintah masih melakukan moratorium, termasuk Papua. Selain itu, MRP juga menilai, hingga kini belum ada kajian ilmiah dari seluruh aspek pemekaran DOB Papua.
MRP juga mempertanyakan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD terkait dengan 82 persen rakyat Papua meminta pemekaran wilayah. “Ini kajian dari mana? Kajian kapan dilakukan, dan siapa yang melakukan kajian? Pemerintah pusat seharusnya mendengarkan aspirasi dari kami, karena kami adalah lembaga negara yang ada di daerah yang menyampaikan aspirasi masyarakat Papua,” katanya.
Alasan lain MRP menolak pemekaran Papua terkait ketidaksiapan SDM dan SDA menggenjot pendapatan asli daerah. Ia menyinggung 28 kabupaten/kota di Provinsi Papua yang hingga kini tak punya PAD, kecuali di Kabupaten Mimika yang terdapat PT Freeport Indonesia.
Usman Hamid menambahkan. Setidaknya ada tiga kerugian yang dialami masyarakat asli Papua. Pertama, hak atas informasi tentang rencana pemekaran DOB. Kedua, hak dimintai konsultasi. Ketiga, hak untuk dimintai persetujuan.
Apalagi, lanjut Usman, belakangan ini eskalasi di Papua, konflik kekerasan dan pelanggaran HAM meningkat tinggi, terutama di Kabupaten Intan Jaya, yang akan masuk Provinsi Papua Tengah. Ia khawatir, jika rencana pemekaran tetap dilanjutkan, eskalasi konflik akan meningkat. (KOM)