Beragam Pelanggaran Netralitas ASN di Pemilu 2024
JAKARTA — Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Ihsan Maulana, menyayangkan sanksi ringan terhadap Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Medan Andy Yudistira serta lima orang lainnya.
Pemerintah Kota Medan hanya memberikan sanksi etik berupa teguran, padahal keenamnya terbukti melanggar netralitas sebagai aparatur sipil negara (ASN). “Sanksi ringan tentu tidak akan memberikan efek jera. Jadi tidak mengherankan banyak ditemukan ASN yang tidak netral selama penyelenggaraan pemilu,” kata Ihsan saat dihubungi kepada Koran Tempo, Rabu (7/2/2024).
Ihsan menilai sanksi ringan hanya membuat pelanggaran terus berulang. Menurut dia, rekomendasi sanksi yang dikeluarkan harus dilanjutkan dengan menyelisik temuan itu lebih jauh dan dampaknya terhadap lingkungan tempat ASN tersebut bekerja.
Kasus pelanggaran netralitas ini bermula dari temuan dan laporan ihwal sebuah video yang beredar di media sosial. Video itu memperlihatkan enam ASN di lingkungan Dinas Pendidikan Kota Medan yang ditengarai mengarahkan kepala sekolah dan guru memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyelidiki video itu. Pada Selasa, 30 Januari lalu, Bawaslu memutuskan bahwa mereka terbukti melanggar netralitas ASN. Bawaslu kemudian memberikan rekomendasi atas hasil pemeriksaan tersebut kepada Komisi ASN Kota Medan. Selanjutnya, Komisi ASN-lah yang akan menjatuhkan sanksi kepada keenam orang yang ada dalam video tersebut.
Sementara belum ada keputusan dari Komisi ASN, Pemerintah Kota Medan sudah memberikan sanksi kepada enam ASN tersebut pada 5 Februari lalu. Andy Yudistira dan Sriyanta, dua ASN, dikenai sanksi berupa teguran tertulis. Adapun empat orang lainnya diberi saksi teguran lisan.
Kepala Inspektorat Kota Medan Sulaiman mengatakan sanksi tersebut didasarkan pada rekomendasi Bawaslu Medan, yang menyatakan Andy melanggar undang-undang mengenai netralitas ASN. “Kami menjatuhkan hukuman disiplin ringan sesuai dengan Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 94 Tahun 2001 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil,” ujarnya, Selasa (6/2) lalu.
Ihsan Maulana menilai Bawaslu seharusnya juga berani melakukan investigasi lebih lanjut. Menurut dia, Bawaslu perlu mendalami apakah sikap ketidaknetralan para ASN itu dilakukan secara sadar, sukarela, atau memang ada perintah. “Sebab, otak kasus ini ataupun orang yang diduga mengarahkan ASN bisa jadi berpotensi memerintahkan atau mengajak ASN di tempat lain untuk bersikap tidak netral,” ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Wakil Komisi ASN Tasdik Kinanto menyebutkan sebanyak 183 ASN atau sekitar 45,4 persen dari 403 ASN dilaporkan ditengarai terbukti melanggar netralitas dalam Pemilu 2024. “Sebanyak 97 ASN atau 53 persen di antaranya sudah dijatuhi sanksi oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK),” ujarnya, kemarin.
Adapun selama pelaksanaan pemilihan kepala daerah atau pilkada serentak pada 2020, tercatat sebanyak 2.034 ASN dilaporkan melanggar netralitas. Sebanyak 1.597 ASN atau 78,5 persen di antaranya terbukti melakukan pelanggaran. Lalu 1.450 ASN atau 90,8 persen sudah dijatuhi sanksi oleh PPK.
Tasdik menjelaskan, pelanggaran itu berupa penggunaan sumber daya birokrasi, yakni rekayasa regulasi, mobilisasi orang, alokasi dukungan anggaran, bantuan program, fasilitasi sarana/prasarana, dan bentuk dukungan lain. Tujuannya adalah keberpihakan kepada salah satu pasangan calon.
Temuan 121 Kasus Pelanggaran Pemilu
Dugaan pelanggaran netralitas ASN di Medan merupakan satu dari ratusan kasus pelanggaran yang terjadi dalam Pemilu 2024. Koalisi masyarakat sipil mencatat, dalam tiga bulan terakhir, ada 121 kasus penyimpangan pemilu.
Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan mengatakan angka tersebut meningkat tiga kali lipat dari laporan penyimpangan yang disampaikan koalisi pada Mei-November 2023, yakni sebanyak 56 kasus. “Angka ini menunjukkan terjadinya dugaan kejahatan pemilu,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta, kemarin.
Jumlah itu dikumpulkan para pegiat demokrasi dan hak asasi manusia berdasarkan laporan publik menggunakan Google Form. Untuk memastikan validitasnya, koalisi melakukan cek silang terhadap tiga sumber data, pelaporan, hasil desk review, dan pendalaman. Secara umum, pelanggaran itu dibagi menjadi tiga hal, yakni kecurangan pemilu sebanyak 58 temuan, pelanggaran netralitas 54 temuan, dan pelanggaran profesionalitas 7 temuan.
Contoh kasus kecurangan pemilu, Halili menyebutkan, adalah kasus Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Gajah Mada (UGM) Gielbran Muhammad Noor yang mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo. Intelijen kepolisian diduga mendatangi rumah orang tua Gielbran. “Bahkan intel tersebut diduga juga mendatangi Fakultas Pertanian UGM tempat Gielbran kuliah untuk meminta biodata,” ujarnya.
Halili menyebutkan pelaku dugaan penyimpangan pemilu salah satunya adalah Presiden dengan temuan 11 kasus. Menurut Halili, Presiden diduga melakukan penyimpangan demi kepentingan kandidat tertentu. Tindakan seperti itu sudah bisa dianggap sebagai kejahatan luar biasa.
Pelaku lainnya adalah menteri dengan temuan 13 kasus. Sejumlah menteri ditengarai menyalahgunakan jabatannya hingga terjadi sejumlah penyimpangan. Menurut Halili, banyaknya temuan penyimpangan itu disebabkan oleh adanya celah dalam regulasi pemilu. Dia mengatakan beberapa menteri saat ini menjadi tim pendukung kandidat tertentu. Namun menteri-menteri itu tidak mundur. Mereka justru memanfaatkan cuti untuk tetap melakukan kampanye. “Padahal secara etika seharusnya tidak boleh,” ucapnya.
Pelaku berikutnya adalah ASN di kabupaten/kota, provinsi, hingga tingkat desa. Penyimpangan terbanyak dilakukan ASN kabupaten/kota dengan 60 kasus. Temuan di kabupaten/kota lebih banyak karena pengawasan lebih ketat ketimbang di tingkat desa. “Di tingkat desa temuan sedikit karena kurangnya pengawasan,” kata Halili. Dia mengatakan 60 kasus pelanggaran itu masuk kategori berat. Indikatornya, pelanggaran tersebut dilakukan dengan memanfaatkan otoritas pejabat publik.
Halili juga menyampaikan bahwa pelanggaran itu menguntungkan kandidat dan partai politik tertentu. Sebanyak 109 kasus diduga menguntungkan kandidat, sementara sisanya menguntungkan partai politik. Dari 109 kasus, sebanyak 64 kasus menguntungkan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02, Prabowo-Gibran. “Sisanya menguntungkan calon anggota legislatif atau caleg DPRD, caleg DPR, dan caleg DPD,” katanya. “Artinya, ada unsur kesengajaan untuk menguntungkan salah satu calon.” (tem/ant)