Berita Utama

Berawal dari Pilkada Serentak

JAKARTA – Kebijakan penundaan proses hukum kepada peserta pemilu muncul menjelang pilkada serentak pertama pada 2018. Ketika itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto meminta penegak hukum menunda pemeriksaan dugaan pidana terhadap pasangan yang telah ditetapkan menjadi calon kepala daerah. “Ditunda dulu penyelidikan, penyidikan, dan pengajuannya sebagai saksi atau tersangka,” kata Wiranto saat itu.
Permintaan Wiranto mendapat dukungan dari kepolisian dan Kejaksaan Agung. Dua institusi penegak hukum itu sepakat menunda proses hukum terhadap calon kepala daerah hingga seluruh tahapan pilkada serentak rampung. Namun Komisi Pemberantasan Korupsi memilih sikap berbeda.
Lembaga antirasuah tetap melanjutkan pemeriksaan terhadap calon kepala daerah yang terindikasi korupsi. Paling tidak upaya itu ditunjukkan dengan penangkapan terhadap Nyono Suharli Wihandoko. Calon inkumben Bupati Jombang, Jawa Timur, tersebut terindikasi menerima suap pengisian jabatan di Kabupaten Jombang. KPK menyebutkan sebagian besar fulus hasil rasuah dipakai Nyono untuk modal kampanye pilkada.
Selain Nyono, sepanjang Januari-Maret 2018, KPK menetapkan empat calon kepala daerah sebagai tersangka. Penyidik menangkap Asrun, mantan Wali Kota Kendari yang mencalonkan diri sebagai Gubernur Sulawesi Tenggara. KPK juga menjerat anak Asrun, Adriatma Dwi Putra, yang menggantikan bapaknya sebagai Wali Kota Kendari. Selain itu, KPK menangkap Marianus Sae, mantan Bupati Ngada yang maju dalam pencalonan Gubernur Nusa Tenggara Timur; serta calon inkumben Bupati Subang, Imas Aryumningsih.
Dari hasil pengusutan KPK, ada kesamaan motif dalam korupsi yang melibatkan para calon kepala daerah tersebut. Uang rasuah yang mereka peroleh digunakan untuk ongkos politik selama pilkada. Persoalan ini inheren dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pada 2018, lembaga itu menemukan 368 laporan yang 34 di antaranya diserahkan ke KPK untuk ditindaklanjuti. Sebagian besar laporan yang disampaikan ke KPK itu merupakan hasil analisis rekening para calon kepala daerah.
Di tengah besarnya potensi korupsi dengan motif modal politik, kebijakan penundaan proses hukum terhadap calon kepala daerah berlanjut pada pilkada 2020. Pada 31 Agustus 2020, Kepala Kepolisian RI Idham Azis mengeluarkan Surat Telegram Rahasia Nomor ST/2544/VIII/RES.1.24./2020 yang memerintahkan penundaan proses hukum terhadap peserta pilkada 2020.
Kala itu sejumlah pengamat hukum maupun kepemiluan mengkritik kebijakan Kapolri. Pasalnya, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah tak mengatur penundaan itu.
Peneliti dari Transparency International Indonesia, Sahel Muzzamil, berpendapat bahwa kebijakan pada 2018 itu justru melahirkan kepala daerah yang banyak terjerat kasus korupsi. Merujuk laporan KPK pada 2004-2022, lebih dari 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota ditangkap oleh KPK.
Sahel juga merujuk pada indikator dari Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia yang terus merosot. Misalnya, pada 2021, Indonesia memiliki poin 38, tapi setahun berikutnya anjlok di poin 34. Fenomena ini mengindikasikan penanganan korupsi di Indonesia tidak berjalan dengan baik. Salah satunya, kata Sahel, adalah sikap pemerintah dan aparat penegak hukum yang kerap menginjak rem dalam upaya pemberantasan korupsi. “Moratorium penegakan hukum terhadap calon peserta pemilu ini, misalnya,” ujar dia. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: