BPS Sebut Masyarakat Semakin Menganggap Wajar Korupsi Kecil
JAKARTA – Indeks Perilaku Anti-Korupsi atau IPAK Indonesia 2023 sebesar 3,92, menurun dibandingkan dengan IPAK tahun 2022. Hal ini mencerminkan masyarakat semakin permisif terhadap korupsi kecil atau petty corruption sekaligus menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap akses layanan publik.
Badan Pusat Statistik merilis Indeks Perilaku Anti-Korupsi Indonesia 2023, di Jakarta, Senin (6/11/2023). Berdasarkan data BPS, IPAK Indonesia 2023 sebesar 3,92 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan capaian 2022 sebesar 3,93. Capaian IPAK berada 0,17 poin di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2023 (4,09).
Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin antikorupsi, sedangkan nilai indeks yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.
IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu persepsi dan pengalaman. Meskipun persepsi perilaku antikorupsi meningkat, pengalaman perilaku antikorupsi menurun. Berdasarkan data BPS, nilai indeks persepsi sebesar 3,82, meningkat 0,02 poin dari tahun 2022 (3,80). Sebaliknya, indeks pengalaman 3,96 menurun 0,03 poin dibandingkan dengan 2022 (3,99).
Pendataan IPAK dilakukan dengan wawancara tatap muka pada 7 Agustus–7 September 2023 dan melibatkan sampel 10.040 rumah tangga di 34 provinsi di Indonesia.
IPAK mengukur perilaku korupsi skala kecil (petty corruption) yang dialami atau dirasakan oleh masyarakat, tidak termasuk korupsi besar-besaran (grand corruption). Cakupan perilaku antikorupsi pada IPAK, yaitu penyuapan, gratifikasi, pemerasan, nepotisme, dan sembilan nilai antikorupsi.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menyebutkan, dalam indeks persepsi publik, persentase masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap seseorang dengan kewenangannya menjamin keluarga atau teman agar diterima menjadi pegawai di luar prosedur resmi dan ketentuan yang berlaku meningkat 16,29 persen.
Namun, terdapat pula sejumlah penurunan dalam indeks persepsi publik, yaitu masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap orangtua atau mahasiswa memberikan sesuatu kepada pihak sekolah atau kampus ketika kenaikan kelas atau kelulusan turun 11,08 persen.
Masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap toko atau perusahaan memberikan hadiah kepada penyelenggara negara karena telah membeli bahan bangunan untuk pembangunan wilayah atau gedung pemerintah turun 6,45 persen. Masyarakat yang menganggap tidak waiar sikap perusanaan pemenang proyek pemerintah memberikan sesuatu kepada pemimpin atau pegawai proyek pemerintah turun 4,61 persen.
Masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap membagikan uang atau barang ke calon pemilih pada pilkades, pilkada, pemilu, turun 4,24 persen. Masyarakat yang menganggap tidak wajar sikap mengharapkan pembagian uang atau barang pada pilkades, pilkada, dan pemilu turun 2,84 persen.
Berdasarkan indeks pengalaman, masyarakat yang membayar sesuai ketentuan ketika berurusan dengan layanan publik menurun 0,87 persen. Tahun 2023, jumlah masyarakat yang membayar sesuai ketentuan sebanyak 83,67 persen, sementara tahun lalu 84,54 persen.
”Sebanyak 6,64 persen masyarakat yang mengakses layanan publik membayar melebihi ketentuan pada 2023, meningkat 2,17 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Sebagian masyarakat beralasan pembayaran itu sebagai tanda terima kasih dan atas inisiatif sendiri,” ujar Amalia.
Perilaku korupsi oleh elite yang masih merajalela di Tanah Air menjadi keprihatinan masyarakat yang diwujudkan melalui mural, seperti terlihat di kawasan Keranggan, Tangerang Selatan, Banten, Sabtu (18/12/2021).
Dengan adanya penurunan IPAK, Amalia mengatakan perlu ada pendidikan antikorupsi yang lebih masif kepada masyarakat. ”Terutama dalam hal mengakses layanan publik, perlu ada pendidikan antikorupsi karena masih banyak masyarakat yang membayar melebihi ketentuan dalam mengakses layanan publik meski tanpa diminta,” ujarnya.
Menurut peneliti dari Transparency International Indonesia (TII), AlvinNicola, menurunnya IPAK menjadi cerminan masyarakat yang lebih permisif terhadap korupsi sekaligus menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap akses layanan publik.
”Data IPAK menunjukkan ada distrust dari warga ke pemerintah untuk menyelenggarakan akses layanan publik yang cepat, murah, sesuai prinsip layanan publik. Saat bikin dokumen publik, misalnya, harus bayar di luar ketentuan kalau mau cepat,” ujarnya.
Mengingat penelitian IPAK dibuat dengan indikator persepsi dan pengalaman, pemberitaan yang masif terkait isu-isu korupsi dan berbagai peristiwa memilukan terkait demokrasi turut membangun distrust dan antipati masyarakat dalam mengakses layanan publik.
Menurut Alvin, akar permasalahan menurunnya IPAK terletak pada banyaknya kasus korupsi, konflik kepentingan, rendahnya penegakan hukum, dan kebijakan publik yang dibuat minim partisipasi masyarakat. Hal ini lama-kelamaan memengaruhi kualitas layanan publik.
Untuk memperbaiki hal ini, ada beberapa hal yang harus dilakukan. ”Secara jangka panjang perlu ada pembenahan sistem politik dalam pemilu. Untuk jangka menengah, perlu ada penguatan lembaga pengawas, terutama setelah beberapa tahun terakhir ada upaya pelemahan KPK. Dalam waktu bersamaan, ruang-ruang kebebasan sipil harus dibuka. Upaya antikorupsi adalah jantungnya korupsi, tanpa itu akan sulit keluar dari situasi sekarang,” katanya. (kom)