Cacat Etik Kedua Pencalonan Gibran
JAKARTA — Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) terhadap komisioner Komisi Pemilihan Umum membuka peluang untuk membatalkan penetapan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden. Upaya untuk membatalkan pencalonan putra sulung Presiden Joko Widodo itu dapat ditempuh lewat tiga opsi.
“Putusan DKPP ini, meski produk etik, bisa digunakan untuk pembatalan terhadap (pencalonan) Gibran,” kata Agus Riewanto, pakar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret, Senin (5/2/2024).
Agus mengatakan putusan DKPP memang hanya berdampak langsung terhadap penyelenggara pemilu, bukan pada Gibran. Namun putusan tersebut dapat dijadikan bukti untuk menggugat penetapan pencalonan Wali Kota Solo itu ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Putusan DKPP bisa menjadi bukti bahwa penetapan Gibran sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto bermasalah. Sebab, Gibran bisa dikategorikan tidak memenuhi syarat usia saat mendaftar sebagai calon wakil presiden.
“Pengajuan ke PTUN harus dilakukan dengan cepat. Bila pemilu selesai, akan sulit mengajukan karena ada sengketa pemilu,” kata Agus.
Ia melanjutkan, peluang menggugat dugaan pelanggaran administrasi pemilu atas penetapan Gibran sebagai calon wakil presiden ke Bawaslu bisa saja ditempuh. Namun Bawaslu kemungkinan besar akan menolaknya karena perkara tersebut sudah kedaluwarsa.
Sesuai dengan Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2022 tentang Penanganan Temuan dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum, Bawaslu akan memproses dugaan pelanggaran administrasi pemilu maksimal tiga hari setelah ditemukan. Bawaslu lantas memprosesnya maksimal 14 hari kerja setelah menerima laporan.
Masalahnya, dugaan pelanggaran pendaftaran pencalonan Gibran sudah berlangsung tiga bulan atau sejak Oktober tahun lalu. “Sekarang pelanggaran sudah lewat. Pemilu sudah masuk tahap kampanye. Jadi, karena hukum acara itu, ada kemungkinan ditolak,” kata Agus.
Di samping gugatan ke PTUN dan Bawaslu, Agus menilai, putusan DKPP dapat dijadikan alat bukti untuk membatalkan pencalonan Prabowo-Gibran saat tahap penyelesaian perselisihan hasil pemilihan presiden di Mahkamah Konstitusi.
Agus mengatakan pihak yang berkeberatan terhadap hasil pemilihan presiden dapat mendalilkan dalam sengketa selisih hasil pemilu bahwa hasil pemilihan presiden tersebut tidak sah karena pencalonan Prabowo-Gibran juga tidak sah. “Harapannya, hasil pemilu tidak sah karena pencalonannya tidak sah,” ujarnya. “Gugatan ke Mahkamah Konstitusi menjadi peluang terakhir.”
Senin kemarin, DKPP memutuskan Ketua KPU Hasyim Asy’ari dan enam komisioner KPU terbukti melanggar kode etik serta perilaku penyelenggara pemilu. Pelanggaran kode etik ini menyangkut keputusan KPU yang menerima pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden pendamping Prabowo.
DKPP lantas memberikan peringatan keras terakhir kepada ketujuh komisioner KPU. DKPP juga memerintahkan KPU melaksanakan putusan itu paling lambat tujuh hari kerja sejak pembacaan putusan.
Awalnya KPU menerima pendaftaran pasangan Prabowo-Gibran sebagai bakal calon presiden dan wakil presiden pada 25 Oktober 2023. Saat menerima pendaftaran ini, KPU masih merujuk pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Peraturan KPU itu masih mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun. Saat itu Gibran masih berusia 36 tahun.
Adapun KPU menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres karena merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada 16 Oktober tahun lalu. Putusan uji materi terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu itu mengubah syarat usia pencalonan, yaitu harus berusia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Putusan inilah yang memuluskan jalan Gibran menjadi calon wakil presiden.
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi itu, KPU bersurat ke pimpinan partai politik peserta pemilu. Dalam suratnya, KPU meminta partai merujuk pada putusan Mahkamah tersebut dalam pendaftaran pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Lantas Koalisi Indonesia Maju—gabungan Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat—mendaftarkan Prabowo-Gibran ke KPU pada 25 Oktober 2023. Kemudian Prabowo-Gibran mengikuti tes kesehatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto satu hari setelah pendaftaran.
Selama menjalani proses pendaftaran hingga tes kesehatan itu, KPU belum mengubah Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023. KPU baru mengubahnya menjadi PKPU Nomor 23 Tahun 2023 pada 3 November 2023. Isinya disesuaikan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Menurut Agus Riewanto, pelanggaran etik komisioner KPU itu terjadi karena menerima pendaftaran Gibran tanpa merevisi Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 lebih dulu. Ia mengatakan PKPU Nomor 23 Tahun 2023 tidak bisa dijadikan pijakan untuk proses pendaftaran pasangan calon sebelumnya karena peraturan itu tidak berlaku surut.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, sependapat dengan Agus. Feri mengatakan putusan DKPP memang tidak bisa membatalkan keputusan penyelenggara pemilu. Sebab, putusan DKPP tersebut memutus tindakan etik dan perilaku penyelenggara pemilu. Karena itu, kata dia, harus ada proses hukum berikutnya untuk mengajukan pembatalan pencalonan Gibran.
Masyarakat, Feri melanjutkan, dapat mengajukan gugatan ke PTUN ataupun sengketa administrasi pemilu ke Bawaslu. Lalu putusan DKPP tersebut dapat menjadi alat bukti saat menggugat ke Bawaslu dan PTUN. “Bila PTUN dan Bawaslu melihat ada pelanggaran, mereka bisa membatalkan proses administrasi pendaftaran Gibran,” katanya.
Charles Simabura, juga pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, mengatakan putusan DKPP tersebut memperkuat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terhadap pelanggaran etik hakim konstitusi. Dalam putusannya, MKMK menyatakan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman terbukti melanggar kode etik berat dalam menangani perkara uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu, khususnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Paman Gibran itu lantas dipecat dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi.
“Jadi pencalonan Gibran ini cacat etik MK dan cacat etik DKPP,” kata Charles.
Ia berpendapat, KPU semestinya mengubah PKPU Nomor 19 Tahun 2023 lebih dulu sebelum menerima pendaftaran Gibran. Namun KPU tak merevisinya saat menerima pendaftaran Prabowo-Gibran.
Adapun pakar hukum tata negara Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai putusan DKPP memang bisa menjadi alat bukti dalam gugatan ke Bawaslu dan PTUN. Putusan itu sekaligus memperkuat putusan MKMK. (tem/ant/sem)