Calon Hakim ”Ad Hoc” HAM Pun Bisa ”Nge-blank” Saat Ditanya Penguji
JAKARTA – Seleksi calon hakim ad hoc hak asasi manusia yang dilakukan oleh Mahkamah Agung di Bogor, Jawa Barat, Rabu (20/7/2022), menyisakan sejumlah peristiwa menggelitik. Mulai dari calon hakim yang tiba-tiba nge-blank tak bisa menjawab pertanyaan penguji hingga calon hakim purnawirawan yang masih membawa budaya militeristiknya.
Mantan Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna harus pelan-pelan mengulang pertanyaannya kepada Helinda, salah seorang peserta seleksi calon hakim ad hoc HAM. Suara perempuan yang berlatar belakang advokat itu tiba-tiba terbata-bata. Butuh jeda waktu sekian menit baginya untuk menjawab pertanyaan Palguna yang mewawancarainya melalui sambungan Zoom.
”Andaikata Anda terpilih sebagai hakim yang memeriksa terdakwa perkara genosida, apa keterangan yang akan digali dari seseorang yang melakukan genosida tersebut? Ibu akan bertolak dari pasal berapa?” tanya Palguna. ”Mohon maaf, saya agak nge-blank sedikit,” ujar Herlinda setelah beberapa menit terdiam.
”Saya ulangi lagi ya, kira-kira apa yang akan digali ketika menyidangkan perkara genosida?” Palguna mengulang pertanyaannya. ”Maaf Pak, agak grogi, jadi nge-blank,” ucap Herlinda lagi.
Palguna kemudian mengubah pertanyaannya. Dia meminta calon hakim berlatar belakang advokat itu untuk menjelaskan prinsip komando yang dilakukan aparatur negara dalam konteks dugaan pelanggaran HAM berat. Apakah prinsip tanggung jawab komando itu berarti seorang komandan kesatuan tidak melakukan pencegahan dalam dugaan pelanggaran HAM berat. Palguna meminta calon hakim itu meneruskan untuk menjelaskan mengenai prinsip komando tersebut. ”Saya lupa, Pak. Tadi saya hafal, tetapi sekarang jadi nge-blank,” ucap Herlinda sembari menunduk.
Meski tidak lancar menjawab pertanyaan dari penguji, sejumlah pertanyaan masih bisa dijawab dengan baik oleh Herlinda. Palguna pun mengapresiasinya. Setelah sesi wawancara yang dibatasi selama 15 menit itu selesai, Herlinda tak lupa meminta maaf kepada Palguna sebelum meninggalkan ruangan wawancara. ”Maaf, Pak. Saya jujur blank sekali,” ucap Herlinda.
”Tidak apa-apa, Ibu. Kita sama-sama pernah mengalami hal tersebut,” jawab Palguna.
Hal menggelitik lain terjadi saat calon hakim yang merupakan purnawirawan TNI, Kolonel (Purn) Yaya Supriadi, mengikuti tes. Pada saat memasuki ruangan tes, Yaya melakukan sikap hormat ala militeristik.
Yaya juga selalu mengucapkan kata ”Siap!” setiap kali penguji menanyakan sesuatu kepadanya. Saat ditanya, Yaya mengaku kebiasaannya saat bertugas sebagai prajurit TNI memengaruhi sikap kesehariannya, termasuk saat menjawab pertanyaan resmi.
Saat sesi wawancara, Yaya mengungkapkan bahwa selama berkarier sebagai prajurit TNI, ia kerap menjadi anggota tim hukum. Tak hanya mendampingi, ia juga menjadi pembela prajurit TNI saat tersangkut kasus hukum.
Kepada penguji, Yaya mengaku pernah bergabung dalam tim hukum Tim Mawar, tim kecil dari Grup 4 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD yang menjadi dalang dalam operasi penculikan aktivis prodemokrasi tahun 1998. Kasus penculikan tersebut menyeret 11 anggota Tim Mawar ke Pengadilan Mahkamah Militer Tinggi II pada bulan April 1999.
”Menurut Bapak, bagaimana penanganan perkara dugaan pelanggaran HAM di Indonesia selama ini?” tanya penguji Roichatul Aswidah, peneliti senior Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).
”Menurut saya, penanganan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia masih kurang maksimal karena masih sebatas hanya memenuhi sorotan dari luar,” jawab Yaya.
Roichatul kemudian melanjutkan pertanyaannya. Dia meminta Yaya menjawab apa yang akan dilakukan untuk memaksimalkan peradilan kasus dugaan pelanggaran HAM berat. Yaya menjawab bahwa pengadilan kasus HAM berat harus sesuai dengan fakta-fakta hukum yang ada. Peradilan harus bebas dari intervensi pihak luar, terutama dari institusi terdakwa.
”Kalau Bapak menjadi hakim, kemudian ada intervensi, bagaimana?” cecar Roichatul. ”Perlu keberanian dari pelaku atau institusi jika ada teror atau intimidasi. Harus berani,” tegas Yaya.
Yaya pun menjelaskan alasannya melamar sebagai hakim ad hoc pengadilan HAM. Dia mengatakan ingin meningkatkan kemampuannya yang lebih konkret di bidang hukum. Selama berkarier sebagai prajurit militer, pengalamannya memang banyak berkutat di bidang hukum. Dia menilai, kesempatan menjadi hakim ad hoc HAM adalah cara yang tepat untuk meningkatkan kemampuannya di bidang hukum itu.
Setelah wawancara 15 menit selesai, Yaya pun diminta untuk meninggalkan ruangan. Alih-alih meninggalkan ruangan dengan sikap santai, Yaya mengambil sikap tegak, kemudian berbalik kanan mirip upacara baris-berbaris. Budaya militeristik ternyata masih mengakar dalam kesehariannya.
Yaya dan Herlinda akan bersaing dengan 31 calon hakim ad hoc HAM lainnya yang sedang diseleksi oleh panitia seleksi dari Mahkamah Agung. Sebanyak 15 calon di antaranya berprofesi sebagai advokat dan 3 lainnya merupakan mantan hakim ad hoc tindak pidana korupsi. Selain itu, ada pula pegawai aktif di pengadilan (3 orang), akademisi (2 orang), dan profesi lainnya. Sementara selain Yaya, masih ada satu calon hakim lain yang berlatar belakang militer, yakni Brigadir Jenderal (Purn) I Made Kanthika. (KOM)