Celah untuk Lolos dari Jeratan Hukum
JAKARTA – Aturan internal Jaksa Agung untuk menunda pemeriksaan baik tahap penyelidikan maupun penyidikan terhadap peserta pemilu yang tersandung kasus pidana bukanlah kebijakan baru. Jaksa Agung periode 2014-2019, Muhammad Prasetyo, pernah memberlakukan kebijakan serupa menjelang pemilihan kepala daerah 2018. Padahal aturan tersebut justru memberikan celah kepada pelaku kejahatan, terutama korupsi, yang menjadi peserta pemilu untuk menghindari jeratan hukum.
“Bahkan aturan internal ini jelas bertabrakan dengan amanat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tentang asas peradilan proporsional, cepat, sederhana, dan berbiaya ringan,” kata pengajar hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Ilhamdi Putra, kemarin. Aturan internal Jaksa Agung itu seolah-olah mengesampingkan fungsi fundamental kejaksaan, yakni sebagai penuntut umum yang mengedepankan prinsip asas praduga bersalah.
Pernyataan Ilhamdi itu disampaikan sebagai tanggapan atas kebijakan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin yang meminta agar pemeriksaan tahap penyelidikan maupun penyidikan terhadap calon presiden dan calon wakil presiden ditunda. Begitu juga untuk calon anggota legislatif dan calon kepala daerah. Penundaan itu berlaku saat Komisi Pemilihan Umum menetapkan nama-nama calon hingga rangkaian dan tahapan Pemilu 2024 berakhir. Adapun tujuan penundaan ini adalah mengantisipasi munculnya black campaign yang dikhawatirkan bakal menghambat kelancaran Pemilu 2024.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa modal yang dibutuhkan untuk menjadi peserta pemilu sangatlah besar. Dalam banyak kasus, calon peserta pemilu kerap memenuhi kebutuhan itu dengan cara-cara ilegal. Ketika kejaksaan memberlakukan moratorium, mereka menjadi memiliki peluang untuk melenyapkan bukti-bukti kejahatan. “Artinya, moratorium Kejaksaan Agung ini bisa dianggap sebagai bentuk pembiaran terhadap dugaan adanya tindak pidana,” kata Ilhamdi.
Ilhamdi mencontohkan kebijakan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo pada Maret 2018. Untuk menjaga stabilitas politik selama pilkada, politikus Partai NasDem itu menunda penanganan kasus terhadap calon kepala daerah yang terindikasi melakukan tindak pidana. Namun kejaksaan tidak pernah membuka data tentang kasus-kasus yang dimoratorium. Bahkan, setelah pilkada berakhir, kejaksaan juga tidak mengumumkan bagaimana perkembangan kasus-kasus yang dimoratorium tersebut.
Jaksa Agung, ketika itu, menggunakan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah Nomor 10 Tahun 2016 sebagai dasar untuk menunda penyelesaian hukum terhadap calon kepala daerah. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa calon kepala daerah tidak bisa mengundurkan diri setelah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum. Padahal, menurut Ilhamdi, penundaan itu justru memberikan peluang bagi calon-calon yang bermasalah untuk lolos dari hukuman. “Ketika sudah terpilih, mereka dapat menggunakan alat negara dan kekuasaan untuk menghindari jeratan hukum,” katanya. “Akhirnya, kasus pidana yang diusut kejaksaan menjadi mangkrak atau tak berjalan optimal.”
Pendapat serupa disampaikan oleh anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini. Menurut dia, penundaan penanganan kasus yang didasarkan pada aturan calon tidak bisa mengundurkan diri sebagai peserta pemilu jelas-jelas merugikan publik. “Kalau ada calon yang berstatus tersangka, tentu dapat dijadikan referensi oleh publik untuk tidak memilih dia,” kata dia.
Bagi Titi, penyelenggaraan pemilu seharusnya bisa dijadikan momentum bagi penegak hukum untuk tidak tebang pilih dalam penanganan kasus. Upaya itu tentu harus dibuktikan dengan sungguh-sungguh. Publik akan memberikan penilaian buruk bagi penegak hukum yang bermain-main dalam pengusutan kasus. “Hukum harus ditegakkan semata-mata karena mencari keadilan,” katanya. “Sebab, keadilan yang tertunda adalah bentuk ketidakadilan itu sendiri.” (TEM)