Daerah Tetap Belum Bisa Mandiri
JAKARTA – Tujuan otonomi daerah belum sepenuhnya tercapai. Meski sudah diterapkan selama 26 tahun, banyak daerah yang belum mandiri secara fiskal dan masih bergantung pada dana transfer dari pemerintah pusat. Persoalan yang tak kunjung selesai ini menunjukkan fondasi otonomi daerah di Indonesia masih rapuh.
Sejatinya, salah satu tujuan penerapan otonomi daerah adalah memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah. Selain itu, pengembangan dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat di daerah.
Namun, kenyataannya, masih banyak daerah yang belum mampu membiayai operasional serta pembangunan daerah secara mandiri. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, terdapat tiga provinsi atau 8,82 persen dari 34 provinsi dengan pendapatan asli daerah (PAD) di bawah 20 persen total anggaran pendapatan daerah. Ini berarti lebih dari 80 persen belanja operasional dan pembangunan dibiayai pemerintah pusat.
Ketiga provinsi itu adalah Papua Barat (7,47 persen), Papua (13,84 persen), dan Aceh (19,23 persen). Penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di tiga provinsi itu lebih banyak dibiayai dari dana transfer daerah dan dana desa APBN.
Namun, jika dilihat dari sisi kapasitas fiskal daerah, terdapat 17 provinsi yang kapasitas fiskalnya masuk kategori rendah dan sangat rendah. Kemudian, ada sembilan provinsi yang masuk kategori tinggi dan sangat tinggi. Sisanya, delapan provinsi masuk kategori sedang.
”Ini tentu menjadi sangat ironis mengingat kewenangan telah diberikan kepada daerah, sementara keuangan masih bergantung kepada pemerintah pusat,” ujar Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam pidato yang dibacakan Sekretaris Jenderal Kemendagri Suhajar Diantoro dalam acara puncak peringatan Hari Otonomi Daerah Ke-26, Senin (25/4/2022) di Gedung Kemendagri, Jakarta.
Mendagri mengaku prihatin dengan kondisi keuangan daerah yang masih bergantung kepada pemerintah pusat. Hal ini mencerminkan filosofis dari tujuan otonomi daerah belum sepenuhnya mencapai hasil yang diharapkan setelah 26 tahun berlalu.
Secara filosofis, tujuan dilaksanakan otonomi daerah dengan mendelegasikan sebagian kewenangan (konkuren) adalah untuk menjadikan daerah mencapai kemandirian fiskal dengan menggali berbagai potensi sumber daya yang dapat meningkatkan PAD serta memacu terjadinya percepatan dan pemerataan pembangunan.
Oleh karena itu, Mendagri mengimbau daerah-daerah dengan PAD rendah agar melakukan terobosan dan inovasi untuk menggali berbagai potensi yang ada. Ini penting agar PAD meningkat, bahkan bisa melebihi dana transfer daerah dan dana desa dari pemerintah pusat. Akan tetapi, terobosan dilakukan tanpa melanggar hukum dan norma yang ada serta tidak memberatkan rakyat.
Di samping itu, Tito mengapresiasi daerah-daerah otonom baru yang justru telah berhasil meningkatkan PAD dan kemampuan fiskalnya. Peningkatan tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dengan begitu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dapat ditingkatkan dan angka kemiskinan bisa diturunkan. Selain itu, meningkatkan konektivitas serta akses infrastruktur yang baik.
Sementara kepada daerah yang kemampuan PAD dan fiskal baik, tetapi skor IPM masih rendah, angka kemiskinan masih cukup tinggi, dan akses infrastruktur belum baik, Tito mengingatkan perlunya evaluasi. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan penyusunan program dan kegiatan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) telah tepat sasaran, efektif, serta efisien.
Keropos
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman juga prihatin dengan persoalan kemandirian fiskal daerah ini yang terus disinggung Mendagri pada setiap perayaan otonomi daerah. Hal ini menunjukkan ada persoalan serius yang harus segera dicari jalan keluarnya karena ketergantungan daerah kepada pusat sudah begitu besar.
”Artinya memang kalau melihat kondisi seperti itu, bisa dikatakan fondasi otonomi daerah di Indonesia masih keropos, dalam arti belum bisa benar-benar mandiri,” katanya.
Melihat kondisi itu, KPPOD berpandangan pemerintah daerah perlu melakukan reformasi perpajakan guna meningkatkan PAD. Pemerintah daerah harus mulai memanfaatkan platform digital untuk proses pemungutan pajak dan retribusi yang lebih efektif dan efisien.
Secara terpisah, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Junimart Girsang mengatakan, ada tiga kendala yang menyebabkan daerah tidak bisa mandiri, yaitu sumber daya manusia, geografis, dan sumber daya alam.
Saat membentuk daerah otonom baru, pemerintah pusat tak mengevaluasi kesiapan ketiga faktor tersebut secara detail. Alhasil, ketika menjadi daerah otonom, pemimpin daerahnya tak mampu menggenjot PAD.
Situasi itu, menurut Junimart, menjadi akar persoalan ketergantungan pemimpin daerah kepada pusat. Untuk itu, pemerintah pusat harus mengoptimalkan fungsi evaluasi dan pengawasan agar persoalan itu tidak terus berlarut-larut. Perlu pula pemerintah pusat membuat aturan yang tegas dan jelas, misalnya tidak akan memberikan bantuan jika tak ada perbaikan PAD. (KOM)