Berita UtamaInforial

Deforestasi dan Pelanggaran HAM Masih Terjadi di Papua dan Kalteng

MANOKWARI, papuabaratnews.co – Penggundulan hutan atau deforestasi di Papua dan Kalimantan Tengah makin masif selama pandemi Covid-19. Selain deforestasi, puluhan pejuang lingkungan di dua wilayah itu juga menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang diduga dilakukan oknum aparatur negara hingga pihak korporasi.

Hal tersebut terangkum dalam laporan catatan akhir tahun dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat yang diluncurkan secara daring di Jakarta, Rabu (3/2/2021). Laporan bertajuk ”Tak Surut Meski Pandemi” tersebut memotret perjuangan hak asasi manusia (HAM) atas lingkungan di Papua dan Kalimantan Tengah sepanjang 2020.

Peneliti Yayasan Pusaka Rasella Malinda mengemukakan, berdasarkan analisis citra satelit pada periode Maret-Mei 2020, diperkirakan terjadi deforestasi seluas 1.488 hektar di Papua dan Kalimantan Tengah. Deforestasi terluas terjadi di area perusahaan perkebunan kelapa sawit di Manokwari, Merauke, Boven Digoel, dan Teluk Bintuni.

”Deforestasi ini sangat berdampak pada penghidupan masyarakat adat secara ekologi, ekonomi, sosial, bahkan sejarah. Sebab, masyarakat Papua memandang hutan sangat berbeda dengan masyarakat kota yang tidak memiliki keterikatan. Mereka melihat hutan tidak hanya sebagai bentang alam kosong, tetapi juga sebagai penanda sejarah,” katanya.

Laporan dari Yayasan Pusaka mencatat beberapa jenis usaha atau sektor mengakibatkan terjadi 14 kasus kejahatan lingkungan dan kehutanan di Papua sepanjang 2020. Sektor itu meliputi, antara lain, pertambangan tanpa izin di kawasan hutan lindung dan konservasi, pengelolaan limbah pertambangan besar, perkebunan kelapa sawit, serta pengelolaan sampah di perairan laut.

Selain deforestasi dan kejahatan lingkungan, Yayasan Pusaka mencatat 42 kasus pelanggaran HAM karena individu atau komunitas masyarakat mempertahankan hak atas tanah adat dan lingkungan. Kasus tertinggi yakni pelanggaran hak atas hidup, yakni 16 kasus berupa kekerasan, penyiksaan, hingga pembunuhan dengan korban meninggal dunia 14 orang.

Makin berat

Direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan Fransiskan Papua (SKPKC-FP) Yuliana Langowuyo menilai, kondisi lingkungan ataupun pelanggaran HAM di Papua sepanjang 2020 belum menunjukkan ada perbaikan signifikan. Ke depan, upaya ini akan makin berat, mengingat ada wilayah di Papua yang ditujukan untuk program pemulihan ekonomi nasional, seperti lumbung pangan, pertambangan, hingga kawasan ekonomi khusus.

”Masyarakat Papua akan tersingkir dengan dibukanya jutaan hektar lahan atas nama kebangkitan ekonomi untuk pangan. Dalam kebijakan pembangunan yang sangat besar dan masif ini, ada situasi ketika orang Papua akan makin termarjinalkan,” tuturnya.

Yuliana memaparkan, di tengah masifnya investasi ke depan, organisasi non-pemerintah dan pihak lain perlu memperkuat upaya agar masyarakat adat atau lokal di Papua tidak mudah tergiur untuk melepaskan hutannya kepada investor. Hal itu bisa dilakukan dengan menggali potensi dan memanfaatkan hutan agar warga mendapat manfaat ekonomi.

”Catatan lainnya, yaitu perlu menjadikan advokasi menjaga lingkungan hidup menjadi isu yang seksi bagi mahasiswa dan aktor gerakan. Sebab, dalam konteks Papua, bicara kerusakan lingkungan hidup sepertinya kurang seksi dibandingkan dengan hak-hak sipil lainnya. Padahal, ketika kerusakan lingkungan hidup terjadi akan berdampak pada semua orang,” ungkapnya. (KOM/PB1)

**Berita ini Telah Terbit di Harian Papua Barat News Edisi Kamis 4 Februari 2021

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.