Demi Menjunjung Putusan MA, KPU Didesak Segera Revisi PKPU
JAKARTA – Komisi Pemilihan Umum atau KPU didesak segera merevisi regulasi tentang pencalonan eks narapidana kasus korupsi dalam Pemilu 2024. Sebab, Mahkamah Agung telah memerintahkan KPU mencabut dua aturan yang dinilai mempermudah mantan narapidana kasus korupsi kembali maju sebagai calon anggota legislatif.
“Jangan menunda-nunda lagi pelaksanaan putusan MA karena bisa membuat peserta pemilu semakin dirugikan,” kata dosen hukum kepemiluan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini, Senin (2/10/2023), dilansir Tempo.
“Khususnya menyangkut hak para caleg untuk mendapat kepastian hukum.”
Keputusan MA tentang pencalonan mantan narapidana korupsi itu didasarkan atas permohonan uji materi yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta dua eks pimpinan KPK, yakni Saut Situmorang dan Abraham Samad. Adapun aturan yang dipermasalahkan adalah Pasal 11 ayat 2 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 ayat 2 PKPU Nomor 11 Tahun 2023.
Para pemohon uji materi menilai dua ketentuan tersebut membuka pintu bagi mantan terpidana korupsi untuk maju sebagai caleg tanpa menunggu masa jeda lima tahun. Padahal regulasi ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusan, MA menyatakan Pasal 11 ayat 6 PKPU 10/2023 bertentangan dengan Pasal 240 ayat 1 huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 87/PUU-XX/2022. Sedangkan Pasal 18 ayat 2 PKPU 11/2023 bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU Pemilu juncto Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXI/2023. MA menyatakan kedua pasal dalam PKPU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tak berlaku umum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Mahkamah Agung berpandangan bahwa KPU seharusnya menyusun persyaratan yang lebih berat bagi pelaku kejahatan yang dijatuhi pidana pokok dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Pedoman jangka waktu lima tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang cukup bagi eks terpidana kasus korupsi untuk introspeksi dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungan.
Menurut Titi, bila KPU mengulur-ulur waktu menindaklanjuti putusan MA, dikhawatirkan bakal menimbulkan lebih banyak permasalahan teknis, terutama dalam penyusunan daftar calon tetap pemilu legislatif. Sebab, waktu yang tersisa untuk mengumumkan daftar calon tetap itu tinggal sebulan lagi. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU wajib patuh terhadap peraturan perundang-undangan serta putusan pengadilan.
“Tindakan memperlambat pelaksanaan putusan MA mengindikasikan bahwa KPU tidak serius dan berniat baik ingin melaksanakan putusan MA,” ujar Titi.
“Karena putusan sebelumnya soal kuota perempuan saja juga belum ditindaklanjuti. Padahal putusan MA untuk kuota perempuan ini sudah sejak sebulan lalu.”
Penundaan pelaksanaan putusan MA bisa menjadi preseden buruk, terutama dalam segi legalitas dan legitimasi penyelenggaraan pemilu legislatif 2024. Apalagi, setelah KPU menerbitkan dua pasal bermasalah tersebut, jumlah eks narapidana kasus korupsi yang mendaftar sebagai calon anggota legislatif meningkat dibanding pemilu sebelumnya.
Dari kajian ICW, kata Titi, eks narapidana korupsi yang mendaftar menjadi calon anggota DPR sebanyak 15 orang untuk Pemilu 2024. Padahal, pada Pemilu 2019, tidak ada satu pun calon legislator Senayan yang memiliki rekam jejak sebagai koruptor. Jumlah tersebut belum termasuk potensi adanya eks narapidana kasus korupsi di tingkat DPRD provinsi dan kabupaten/kota. “Sekarang setelah ada aturan ini terbukti memang memberikan jalan bekas koruptor untuk menjadi wakil rakyat,” ujarnya.
Titi mengatakan munculnya mantan narapidana korupsi sebagai peserta pemilu menunjukkan bahwa partai politik gagal dalam menjaring kader-kader terbaik yang bersih. “Partai politik lebih mengedepankan pragmatisme untuk merekrut para mantan terpidana korupsi sebagai pendulang suara di pemilu,” ujarnya.
Dosen hukum tata negara dari Universitas Bung Hatta, Helmi Chandra, mengatakan keputusan MA yang membatalkan dua pasal PKPU tersebut membuktikan bahwa KPU salah menerjemahkan Undang-Undang Pemilu. “KPU terkesan membuat aturan akal-akalan agar bekas narapidana korupsi bisa terus maju,” ujarnya.
“Sudah seharusnya KPU merevisi PKPU pencalonan.”
Komisioner KPU, Mochammad Afifuddin, mengatakan lembaganya masih menjaring masukan sebelum menindaklanjuti putusan MA. Masukan ini diperlukan agar KPU bisa menentukan kebijakan yang bisa dijalankan untuk melaksanakan putusan tersebut. “Kami masih bahas pada pleno selanjutnya dengan tim internal,” ujarnya. (TEM)