Berita Utama

Dugaan Menghalangi Bantuan Logistik dan Medis

JAKARTA – Sejumlah tokoh Papua serempak membenarkan temuan Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mengindikasikan bahwa aparat keamanan diduga menghalangi pengiriman bantuan bagi pengungsi di Papua. Mereka menyebutkan upaya tersebut disebabkan oleh konflik bersenjata dan pengungsi internal atau internally displaced persons (IDPs) di Papua yang terjadi sejak 2018.

Pastor John Bunay, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP)—perkumpulan tokoh-tokoh gereja di Papua—menyebutkan dugaan menghalangi bantuan masuk ke Papua itu berlangsung ketika terjadi pengungsian besar-besaran akibat konflik di Kabupaten Nduga.

“Misalnya, dokter yang hendak pergi ke pengungsi di Nduga ditanya-tanyai oleh aparat hingga akhirnya tidak bisa masuk dan membawa bantuan,” ucap Bunay dilansir Tempo, Kamis (17/2/2022).

Kejadian serupa dialami kelompok gereja yang hendak mengirim bantuan makanan untuk para pengungsi. Muskil bagi Bunay dan rekan sejawatnya bisa menembus penjagaan aparat keamanan di masing-masing wilayah konflik. Dia menilai bahwa secara tidak langsung aparat keamanan sengaja melarang pengiriman bantuan untuk pengungsi.

Para pemegang amanat prosedur khusus (special procedures mandate holders/SPMH) Dewan HAM PBB sebelumnya menemukan perihal dugaan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua. PBB menyatakan Palang Merah Indonesia (PMI), gereja-gereja di Papua, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dibatasi ketika hendak memberikan akses bantuan ke pengungsi. Tiga Pelapor Khusus PBB kemudian mengirim 12 pertanyaan ke pemerintah Indonesia. Satu di antaranya mempertanyakan alasan pemerintah yang diduga menghalangi kerja kemanusiaan PMI, kelompok gereja, dan Komnas HAM dalam upaya memberikan bantuan di Papua.

PBB juga menemukan bahwa para IDPs dibiarkan telantar dan sama sekali belum menerima bantuan kemanusiaan. SPMH yang merupakan mandat di bawah Dewan HAM PBB yang diisi para ahli, pelapor khusus, dan anggota kelompok kerja ini mengidentifikasi adanya kebutuhan mendesak yang semestinya dipenuhi pemerintah. Di antaranya tempat tinggal, makanan, air bersih, sanitasi, perawatan kesehatan, dan pendidikan bagi kelompok pengungsi. Alhasil, Pelapor Khusus PBB menemukan kasus malnutrisi atau busung lapar di beberapa daerah konflik.

Bunay mengatakan laporan PBB tersebut sahih dan seakan-akan sudah menjadi pemandangan umum bagi para IDPs. Para pengungsi di Intan Jaya dan Nduga juga menghadapi ancaman nyata dari aparat keamanan. Mereka kerap ditakut-takuti dengan tembakan jika berupaya hendak kembali ke kampung halaman. “Katanya aparat penjaga keamanan, tapi kok ada penembakan, kok ada penculikan, kok ada pembunuhan. Kami bingung.”

Para pengungsi di Nabire juga tidak diperkenankan kembali ke Intan Jaya. Biasanya aparat hanya mengizinkan orang selain Suku Papua terbang menggunakan pesawat perintis ke Intan Jaya. Pengungsi, kata Bunay, dilarang kembali dengan berbagai alasan. Kehidupan mereka di pengungsian pun terancam kelaparan karena minimnya bantuan logistik.

Bunay turut merujuk laporan Komnas HAM Perwakilan Papua yang menyebutkan ada 3.019 pengungsi dari 23 desa yang tinggal di Kota Ilaga dan Gome, Kabupaten Puncak. Mereka datang dari lima kabupaten sejak Mei 2021. Dinas Sosial Kabupaten Puncak sempat menghitung jumlah pengungsi mencapai 19.919 orang dan diperkirakan telah membeludak hingga 35 ribu jiwa.

Temuan PBB menyebutkan polisi sempat melarang tim kemanusiaan dari Gereja Injili Indonesia (GIDI) mengirim tujuh ton beras untuk dibagikan kepada 4.862 pengungsi di lima kecamatan di Kabupaten Puncak. Tim kemanusiaan disebut-sebut dilarang mendistribusikan beras dan diminta menjatuhkan beras bantuan di depan kantor pemerintah di Distrik Ilaga. Belakangan, setelah negosiasi, tim kemanusiaan dibolehkan memberikan bantuan ke Distrik Gome.

Adapun Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, menyatakan lembaganya tidak pernah mendapat gangguan dari aparat ketika menjalankan tugas kemanusiaan di Papua. “Waktu investigasi kasus pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani, juga tidak ada gangguan,” ujar dia. Meski begitu, kata Taufan, hal yang menjadi masalah dalam urusan pengungsi adalah kurangnya perhatian pemerintah, seperti logistik dan kesehatan.

Menurut dia, kurangnya logistik yang diterima pengungsi karena kegiatan operasional pemerintah daerah tidak berfungsi akibat konflik bersenjata. Dia melihat banyak kantor pemerintah daerah yang tidak berfungsi dalam membantu IDPs.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD. irit bicara ketika dimintai konfirmasi ihwal dugaan penghalangan pengiriman bantuan logistik untuk pengungsi di Papua.

Mahfud sempat disodorkan sejumlah dokumen yang berisi pertanyaan Dewan HAM PBB kepada pemerintah Indonesia atas larangan bantuan masuk Papua. “Kamu tulis saja yang kamu tahu. Nanti saya mencari tahu untuk menjawab. Maka, tanya ke Komnas HAM saja dulu,” ujar Mahfud.

Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, menyatakan temuan Dewan HAM PBB menjadi bukti bahwa selama ini PMI dan organisasi kemanusiaan sulit menembus masuk ke Papua untuk memberikan bantuan kepada pengungsi. “Kami sempat bertanya-tanya mengapa PMI tidak turun? Ini mesti dipublikasikan agar pengungsi tahu bahwa mereka tidak diizinkan masuk,” tutur dia.

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, menyatakan kasus pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pengungsian paksa, di Papua kini telah menjadi sorotan PBB. Bukan tidak mungkin nanti PBB mengirim tim investigasi jika Indonesia tak kunjung memperbaiki pendekatan dari militeristik menjadi kemanusiaan. (TMP)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.