Firli Bahuri di Seputar Kebocoran Dokumen
JAKARTA – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Firli Bahuri kembali dilaporkan ke Dewan Pengawas KPK. Kali ini, Firli ditengarai melanggar kode etik atas dugaan pembocoran dokumen penyelidikan kasus korupsi di lembaganya ke pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Anggota Dewan Pengawas, Albertina Ho, membenarkan bahwa lembaganya sudah menerima laporan tersebut. “Betul ada laporan dugaan pelanggaran etik yang diterima Dewan Pengawas,” kata Albertina saat dimintai konfirmasi ihwal laporan dugaan pelanggaran etik atas kebocoran dokumen penyelidikan KPK dengan terlapor Firli Bahuri, Rabu (5/4/2023) lalu.
Albertina mengatakan lembaganya segera menyikapi laporan tersebut. Dewan Pengawas, kata dia, lebih dulu akan melakukan proses administrasi, lalu menganalisis laporan tersebut. “Kalau perlu, dilakukan permintaan keterangan dalam klarifikasi,” kata dia.
Kebocoran dokumen penyelidikan itu pertama kali diketahui tim penyelidik dan penyidik KPK saat menggeledah kantor Kementerian ESDM pada 27 Maret lalu. Ada beberapa ruangan yang digeledah, termasuk ruang kerja M. Idris Froyoto Sihite, Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM sekaligus pelaksana harian Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi. Penggeledahan ini berhubungan dengan kasus korupsi tunjangan kinerja di Kementerian ESDM tahun anggaran 2020-2022.
Lima penegak hukum di KPK dan kepolisian menceritakan, saat penggeledahan itu, tim KPK menemukan dokumen penyelidikan tunjangan kinerja. Dokumen itu menyerupai berkas Laporan Kejadian Tindak Pidana Korupsi (LKTPK). Dokumen ini merupakan hasil penyelidikan KPK, yang berisi kesimpulan hasil penyelidikan tersebut. Di dalamnya memuat konstruksi perkara berupa gambaran kronologi perkara, terduga pelaku, serta pasal-pasal yang direkomendasikan untuk digunakan. “Ada juga bukti permulaan,” kata sumber itu.
Tim KPK yang menggeledah lantas memberikan konfirmasi kepada Idris Sihite. Lalu Idris menyebutkan bahwa dokumen itu diperolehnya dari Menteri ESDM Arifin Tasrif. Pengakuan Idris itu menjadi satu bukti kebocoran dokumen rahasia tersebut. “Ada juga dokumen elektronik,” kata sumber lainnya.
Belum diketahui secara pasti kapan dokumen penyelidikan tunjangan kinerja itu sampai ke Kementerian ESDM. Namun dokumen penyelidikan tersebut ditandatangani Direktur Penyelidikan KPK saat itu, Endar Priantoro, pada 28 Februari lalu. Dua penegak hukum di KPK dan kepolisian menduga kebocoran dokumen itu terjadi setelah 28 Februari hingga sebelum penetapan tersangka dugaan korupsi tunjangan kinerja. Adapun surat perintah penyidikan (sprindik) kasus korupsi tunjangan kinerja di Kementerian ESDM terbit pada 10 Maret lalu.
KPK sudah menetapkan sepuluh tersangka dalam kasus korupsi ini. Namun KPK belum mengumumkan identitas para tersangka hingga kini. Subkoordinator Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Achmad Nur Saleh, mengkonfirmasi 10 nama pegawai Kementerian ESDM yang telah dicegah untuk bepergian ke luar negeri. Mereka adalah Priyo Andi Gularso, Novian Hari Subagio, Lernhard Febrian Sirait, Abdullah, Christa Handayani Pangaribowo, Rokhmat Annashikhah, Beni Arianto, Hendi, Haryat Prasetyo, dan Maria Febri Valentine.
Para pejabat di Kementerian ESDM disinyalir mengucurkan anggaran tunjangan kinerja yang mengendap selama masa pandemi Covid-19 hingga Rp 30 miliar. Dana tunjangan kinerja ini diduga mengalir ke rekening sejumlah pegawai di Kementerian ESDM.
Modus mereka adalah menggelembungkan nilai tunjangan kinerja yang diterima pegawai. Pejabat yang semestinya hanya menerima tunjangan kinerja Rp3 juta, misalnya, jumlah tunjangannya dinaikkan menjadi Rp 30 juta dengan menambahkan angka nol pada dokumen. Uang tersebut juga diduga mengalir ke Idris Sihite.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri membantah kebocoran dokumen penyelidikan tersebut. “Sudah biasa kami dituduh macam-macam seperti itu,” kata Ali Fikri.
Ali menganggap lumrah tuduhan pembocoran data tersebut. Ia mencontohkan saat KPK dituduh tidak akan menindaklanjuti perkara Rafael Alun Trisambodo karena pejabat Direktorat Jenderal Pajak itu adalah kawan satu angkatan salah satu pemimpin KPK di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Namun, kata Ali, pada akhirnya KPK menetapkan Rafael sebagai tersangka penerima gratifikasi. “Pada akhirnya, semua hanya tuduhan belaka dengan tujuan mengganggu upaya pemberantasan korupsi,” kata dia.
Ali memastikan lembaganya tak akan terpengaruh oleh berbagai tuduhan tersebut. “Kami pastikan itu karena kami tak akan mengulangi kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan KPK pada periode terdahulu,” katanya.
Ancaman Pidana Pembocor Dokumen
Ketua Indonesia Memanggil (IM57+), M. Praswad Nugraha, mengatakan Firli Bahuri atau siapa pun yang membocorkan dokumen penyelidikan tersebut berpotensi dijerat pidana, selain dugaan pelanggaran kode etik. Pembocor dokumen dapat diduga sudah menghalang-halangi proses penyidikan dengan cara membocorkan dokumen rahasia ke pihak beperkara.
Praswad berpendapat, tindakan merintangi penyidikan itu dapat dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Mantan penyidik KPK ini memperoleh informasi bahwa pelapor sudah mempunyai bukti-bukti kuat sehingga melaporkan Firli dalam perkara dugaan pelanggaran etik pembocoran dokumen tersebut. “Buktinya cukup telak,” kata Praswad.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, merekomendasikan agar Dewan Pengawas KPK mengusut tuntas perkara pembocoran dokumen tersebut. Ia pun berharap Dewan Pengawas memberikan sanksi berat kepada pelaku.
Menurut Kurnia, ada rekam jejak Firli yang berhubungan dengan pihak beperkara. Ia mencontohkan, Direktorat Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK pernah mengusut dugaan pelanggaran etik Firli saat bertemu dengan Muhammad Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) pada Mei 2018. Saat itu, Firli menjabat Deputi Penindakan dan TGB sebagai Gubernur Nusa Tenggara Barat. Pada saat yang sama, KPK tengah mengusut divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara. “Semestinya Dewan Pengawas harus tegas dalam hal ini,” kata Kurnia. (TEM)