Berita Utama

Industri Tekstil Lokal Limbung Terpukul Produk Impor

JAKARTA – Industri tekstil dan produk tekstil masih terpuruk setelah diterpa pandemi. Kehadiran barang-barang impor ilegal, termasuk pakaian bekas, membuat para pelaku usaha di sektor ini kian sulit bangkit.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), Redma Wirawasta, menyatakan rata-rata utilisasi pabrik di sektor ini baru 55 persen. Padahal, pada paruh pertama 2022, utilisasinya sudah meningkat 75-80 persen. “Memasuki semester kedua 2022, barang impor mulai masuk dan kinerja kami turun lagi,” kata Redma Wirawasta dilansir Tempo, Senin (27/3/2023).

Penurunan utilisasi tersebut dipengaruhi oleh anjloknya permintaan ekspor. Kondisi ekonomi beberapa negara tujuan ekspor utama, seperti Amerika Serikat dan Eropa, melemah. Di sisi lain, pasar domestik sudah jenuh. Akibatnya, sektor tekstil dan produk tekstil harus merumahkan pegawai. Kebanyakan dari mereka masih belum bisa kembali bekerja.

Menurut Redma, kejenuhan terjadi karena pasar dijejali produk impor. Kondisi mereka kian tercekik karena banyak barang impor masuk secara ilegal. APSyFI mencatat, sampai akhir 2022, ada sekitar 320 ribu ton produk garmen impor ilegal. Sementara itu, impor yang tercatat, alias legal, hanya 250 ribu ton. Sekitar 70 persen di antara barang ilegal itu berupa kain. Sedangkan sisanya pakaian bekas.

Redma menyatakan momentum masuknya barang impor pada semester kedua 2022 beriringan dengan pemulihan sektor logistik setelah masa pandemi. Saat itu harga sewa kapal mulai turun dan kontainer yang tadinya langka mulai tersedia. Maraknya impor garmen ilegal membuat pasar dibanjiri produk yang lebih murah dibanding produk buatan dalam negeri. Padahal, menurut Redma, pasar domestik sangat krusial untuk membantu mereka pulih. “Satu-satunya harapan kami adalah pasar domestik,” katanya.

Barang tekstil dan produk tekstil ilegal bukanlah hal yang baru buat pelaku usaha di industri ini. Redma menyebutkan beberapa modus yang terkenal, salah satunya penyelundupan barang menggunakan kapal kayu di pelabuhan kecil di perbatasan Indonesia. Tapi sekarang skala penyelundupan tekstil semakin besar. Para importir sudah berani menyelundupkan barang lewat kontainer yang masuk di pelabuhan-pelabuhan utama.

Sejak akhir tahun lalu, Redma sudah melaporkan kondisi tersebut ke beberapa menteri terkait, termasuk Presiden Joko Widodo. Pemerintah merespons dengan membentuk satuan tugas bersama antara Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan. Namun Redma berharap satuan tugas ini bisa berdiri langsung di bawah presiden agar posisinya lebih kuat. Melihat modus teranyar para penyelundup, dia menilai masalahnya sudah semakin besar. “Jadi, satgas harus benar-benar kuat.”

Khusus untuk impor baju bekas, Redma berharap gencarnya penindakan akhir-akhir ini tidak hanya hangat-hangat tahi ayam. Dia juga berharap pemerintah berfokus memangkas akar masalahnya, yaitu mencari para importir alih-alih memberikan hukuman buat para pedagang, terutama yang berskala kecil.

Solusi untuk Pedagang Kecil

Pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Eddy Junarsin, mengatakan kebijakan larangan impor pakaian bekas harus diimbangi dengan peningkatan kualitas produk pakaian dalam negeri. “Kualitas produk lokal juga harus lebih bagus. Jangan sampai mudah rusak dibanding baju bekas impor. Desain juga membaik dan produksi massal juga tepat waktu,” ujar Eddy Junarsin.

Menurut Eddy, awalnya, impor pakaian bekas masuk untuk memenuhi kebutuhan sandang murah yang bisa diakses masyarakat kecil. Tapi, saat ini, produk UMKM tekstil dianggap semakin berkembang dan bisa memenuhi permintaan lokal dengan kuantitas serta kualitas yang semakin baik. “Saya kira, pada titik itu, kebijakan impor pakaian bekas mulai dikurangi atau tidak ada lagi.” Ia bersepakat bahwa perlu ada pengetatan pada celah pakaian bekas dan produk tekstil ilegal yang masuk ke Indonesia.

Tugas pemerintah, ujar Eddy, adalah bagaimana menertibkan impor ilegal dan di sisi lain kualitas produk UMKM makin terus berkembang dan harganya pun bisa bersaing. Adapun bagi para pedagang kecil yang terkena dampak kebijakan pelarangan impor pakaian bekas, Eddy menyarankan agar ada upaya pengalihan supaya mereka dapat memasarkan produk lokal dengan menjadi reseller atau dropshipper.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Teten Masduki memastikan penertiban pedagang baju bekas impor di pusat-pusat belanja dilakukan dengan mulus. Salah satunya mencarikan bisnis baru buat pedagang tersebut. Kementerian menyediakan saluran pengaduan bagi pedagang yang terkena dampak penertiban baju bekas impor.

Kementerian Koperasi mengumumkan nomor pengaduan 1500-587 dan layanan WhatsApp di nomor 08111451587. Teten mengatakan ada banyak pelaku UMKM yang siap menjadi pemasok barang berkualitas untuk dijual oleh eks pedagang baju impor bekas. “Soal harga, bisa bersaing,” katanya. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.