Keadilan Sosial Belum Terwujud di Wilayah Timur Indonesia
-
Papua dan Papua Barat Paling Tertinggal
MANOKWARI, papuabaratnews.co – Keadilan sosial sebagaimana diamanatkan para pendiri bangsa dalam salah satu sila di Pancasila masih jauh dari harapan. Ini terutama di wilayah timur Indonesia, seperti Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Penduduk di wilayah-wilayah tersebut terbelakang dari sisi pendidikan, kesehatan, dan pengentasan warga dari kemiskinan.
Kondisi itu terpotret dari hasil Indeks Keadilan Sosial Indonesia (IKSI) tahun 2018 yang dikeluarkan oleh Indonesia Social Justice Network (ISJN). Indeks tersebut diteliti oleh tim ISJN, yang terdiri dari Sujarwoto, Dominggus Elcid Li, Asal Wahyuni Erlin Mulyadi, dan Andi Ahmad Yani.
Indeks yang mengukur kualitas keadilan sosial di 34 provinsi Indonesia ini terdiri atas delapan metode. Metode tersebut adalah pengentasan warga dari kemiskinan, akses layanan pendidikan, akses layanan kesehatan, kohesi sosial dan nondiskriminasi, lapangan kerja inklusif, keadilan antargenerasi, penegakan hukum dan demokrasi, serta tata kelola publik.
Secara nasional, hasil perhitungan IKSI adalah 63,46 dari total 100. Artinya, sekitar 63 persen warga Indonesia mampu terpenuhi keadilan sosialnya.
Skor IKSI tertinggi didominasi oleh provinsi-provinsi di Jawa dan Sumatera, misalnya DKI Jakarta, Yogyakarta, Jawa Tengah, Bali, dan Kepulauan Riau.
Namun, masih terdapat 13 provinsi atau sekitar sepertiga dari total jumlah provinsi di Indonesia yang memiliki skor IKSI di bawah rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki IKSI terendah adalah Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Kalimantan Barat.
Provinsi-provinsi yang memiliki skor IKSI rendah itu diakibatkan kontribusi masing-masing dimensi yang juga kecil, seperti dimensi pengentasan warga dari kemiskinan, pendidikan, kohesi sosial dan non-diskriminasi, serta keadilan antargenerasi.
Ketua tim peneliti, Sujarwoto, dalam diskusi buku IKSI di Jakarta, Rabu (19/8/2020), mengatakan, disparitas keadilan sosial sangat nyata terjadi di Indonesia. Sejumlah provinsi di wilayah timur Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan dengan wilayah barat Indonesia.
”Cita-cita menghadirkan keadilan sosial masih menjadi tantangan besar bagi negara kita. Selama 75 tahun merdeka, saudara-saudara kita di wilayah timur Indonesia ternyata belum menikmati keadilan seutuhnya,” ujar Sujarwoto.
Dalam diskusi itu, hadir sejumlah narasumber sebagai penanggap, di antaranya pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latif, Direktur Eksekutif Wahana Inklusi Indonesia Tolhas Damanik, dan Wakil Ketua Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh.
Sujarwoto menjelaskan, hasil IKSI juga memperlihatkan kesenjangan antara Jakarta dan Papua yang luar biasa. Kesenjangan itu mencapai 20,03 persen.
Jika digambarkan, tujuh dari sepuluh orang di DKI Jakarta sudah terpenuhi keadilan sosialnya. Sementara keadilan sosial di Papua hanya lima dari sepuluh orang.
”Berpuluh-puluh tahun DKI Jakarta tidak hanya menjadi Ibu Kota negara, tetapi telah menjelma menjadi pusat-pusat kapitalis yang menyedot sumber-sumber daya provinsi di luar Ibu Kota,” ucap Sujarwoto.
Nihayatul Wafiroh sependapat dengan hasil dari IKSI tersebut. Dari sisi kesehatan, misalnya, ia melihat pendistribusian tenaga kesehatan masih belum merata di seluruh Indonesia. Penguatan pelayanan kesehatan juga terfokus di Pulau Jawa. Ia mendorong Kementerian Kesehatan agar pelayanan kesehatan serta pendistribusian tenaga kesehatan memprioritaskan daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar di Indonesia.
Isu disabilitas
Adapun Tolhas Damanik menyoroti isu penyandang disabilitas yang belum mendapat perhatian. Penyandang disabilitas masih terbatas akses terhadap pendidikan, pelatihan, dan pekerjaan yang layak. Padahal, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia tidak sedikit.
Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015, setidaknya 8,56 persen dari total penduduk Indonesia atau sekitar 21,84 juta jiwa merupakan penyandang disabilitas.
”Akses yang terbatas di sejumlah aspek menyebabkan kerentanan kepada penyandang disabilitas. Membuat mereka masuk kategori miskin atau rentan miskin,” ujar Tolhas.
Tantangan terbesar penyandang disabilitas saat ini, menurut Tolhas, adalah stigma di lingkungan.
Stigma yang masih tertanam di benak masyarakat, penyandang disabilitas dianggap tak produktif dan tak bisa berkembang. Sebab, mereka harus bergantung pada orang lain.
”Ini stigma yang dibangun dan tanpa sadar memunculkan diskriminasi. Bicara soal opportunity (kesempatan), kesempatan kepada penyandang disabilitas untuk masuk ke berbagai sektor kehidupan masih sangat terbatas,” tutur Tolhas.
Tolhas berharap pengarusutamaan penyandang disabilitas menjadi dasar dalam setiap program kebijakan dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah. Dengan begitu, mereka tak akan ditinggalkan.
Ketidakmampuan negara
Yudi Latif berpendapat, skor IKSI ini sangat penting untuk menjadi ukuran atas pencapaian sila ke-5 Pancasila, yaitu keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ia menjabarkan bahwa Pancasila sejatinya dimulai dari sila-sila yang abstrak dan diakhiri dengan sila-sila yang konkret. Keadilan sosial merupakan apsek paling konkret. ”Masalahnya, semakin konkret, semakin sulit mewujudkannya,” ujar Yudi.
Jika negara gagal menyelesaikan tantangan yang konkret tersebut, berisiko membuat banyak orang menggantungkan pada hal-hal yang abstrak, misalnya identitas keagamaan dan identitas kesukuan.
”Gejala-gejala identity politic (politik identitas) muncul akibat ketidakmampuan negara menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa pada hal-hal yang konkret. Dan, hal-hal yang konket itu adalah keadilan sosial,” kata Yudi.
Terlepas dari itu, Yudi menyayangkan sejumlah aspek yang belum dipotret di IKSI, seperti distribusi hak istimewa sosial (distribution of social privilege). Ini penting karena mengarah diskriminasi sosial, misal hubungan mayoritas dan minoritas keagamaan, relasi gender, relasi kesukuan, serta relasi generasi.
Akses pada pendidikan, menurut Yudi, juga menarik didalami. Menariknya, di Indonesia, rasio antara guru dan siswa lebih bagus dibandingkan Korea Selatan. ”Itu menipu. Ternyata kebanyakan guru hanya terkonsentrasi di Jawa. Jadi, masalah bukan pada gurunya, melainkan distribusi gurunya,” ujarnya.
Dalam konteks negara hukum, lanjut Yudi, seharusnya IKSI juga memotret budaya korupsi di setiap daerah. Sebab, semakin makmur suatu negara, tingkat korupsinya semakin sedikit, begitu pula sebaliknya.
”Korupsi itu bagian tata kelola negara yang buruk dan berdampak pada social justice. Jadi, korupsi mempunyai korelasi dengan kemakmuran, social justice,” ucapnya. (KOM/RED)