Berita Utama

KEK Sorong Mengancam Masyarakat Adat Moi

SORONG – Sebulan terakhir, Yefta Kammi terpaksa bolak-balik menyeberang laut dari tempat tinggalnya di Pulau Arar, Distrik Mayamuk, untuk pergi ke pusat pemerintahan Kabupaten Sorong di Distrik Aimas.

Sebuah pemberitaan media lokal pada Agustus lalu membuat Kepala Adat Marga Kammi—salah satu marga di suku Moi—itu gusar. Berita itu menyebutkan bahwa pemerintah telah membebaskan lahan seluas 338,5 hektare di lokasi pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sorong.

Menurut Yefta, hingga saat ini, masyarakat adat suku Moi dari marga Kammi sebagai pemilik tanah ulayat di Mayamuk baru melepaskan lahan seluas 170 hektare.

“Jadi, kami ingin minta data lahan mana yang dibilang pemerintah telah dilakukan pembebasan itu,” kata Yefta dilansir Tempo, Senin (2/10/2023).

Pulau Arar terletak di Selat Sele sisi utara, selat di antara Pulau Salawati dan Semenanjung Doberai—wilayah yang menyerupai kepala burung di Papua. Perlu waktu 20 menit menyeberang laut dengan menaiki perahu nelayan untuk menuju ke daratan seluas 50 hektare itu.

Adapun KEK Sorong berada di seberang pulau itu, sekitar 2 mil laut ke arah selatan. Meski ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2016, KEK Sorong baru diresmikan pada Oktober 2019 dengan total luas mencapai 523,7 hektare. Pemerintah memproyeksikan KEK Sorong bisa menarik investasi senilai Rp 32,2 triliun untuk pengembangan industri logistik, agro industri, pertambangan, hingga galangan kapal.

Pulau Arar, tempat tinggal Suku Moi, Marga Kammi, 23 September 2023. Dok. Tempo

Awal Agustus lalu, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sempat berkunjung ke kawasan ini. Dia datang untuk mengikuti Rapat Koordinasi Teknis Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) se-Provinsi Papua Barat Daya. Dia menilai kondisi KEK Sorong tidak berubah sejak diresmikan. “Belum berkembang signifikan,” kata Bahlil pada Jumat, 4 Agustus lalu.

Masalahnya, dalam rapat itu, pemerintah mengklaim pembebasan lahan untuk kebutuhan KEK Sorong telah mencapai 338,5 hektare atau sekitar 64,64 persen. Angka ini yang dipersoalkan oleh Yefta.

Meski bermukim di Pulau Arar, marga Kammi memiliki tanah ulayat hingga ke daratan kepala burung Papua, termasuk di antaranya tanah yang menjadi lokasi pembangunan KEK Sorong. Kammi merupakan satu dari belasan gelek alias marga suku Moi, suku asli yang mendiami wilayah Kota Sorong, Kabupaten Sorong, dan Kabupaten Raja Ampat. Yefta menjabarkan, tanah ulayat marga Kammi mencakup area seluas 40 ribu hektare.

Menurut dia, marga Kammi tak menolak program pemerintah untuk mengembangkan KEK Sorong. Namun mereka menginginkan pengalihan hutan adat itu menggunakan skema sewa dalam kurun waktu tertentu, bukan jual-beli. “Cara ini untuk menjamin masyarakat juga bisa dilibatkan dalam pembangunan KEK,” kata pria berusia 42 tahun itu.

Anggota masyarakat adat marga Kammi, Oktavina Desi Kalaibun, mengatakan selama ini mereka memang lebih memanfaatkan hasil laut untuk kehidupan sehari-hari. Namun hutan adat di wilayah hak ulayat marga Kammi sangat penting karena menjadi sumber penghidupan tatkala cuaca sedang buruk. Di sana masyarakat menanam sagu, pisang, dan durian.

Di sisi lain, hutan adat marga Kammi juga penting bagi marga-marga lain. Perempuan berusia 35 tahun itu mengatakan marga Kammi selama ini mengizinkan marga lainnya berkebun di sebagian wilayah hutan adat mereka. “Jadi, bila hutan adat digusur, bukan hanya marga Kammi, marga lain, seperti marga Kokmala, juga akan terkena dampak,” kata Oktavina.

Rosita Kokmala, anggota masyarakat suku Moi dari marga Kokmala, mengamini pernyataan Oktavina itu. Selain memanfaatkan hasil laut, dirinya berkebun di hutan adat marga Kammi. “Kami biasanya menanam sagu,” kata Rosita, yang juga tinggal di Pulau Arar.

Menurut Rosita, banyak marga lain di Kampung Arar yang bermukim di hutan adat tersebut. Mereka sebelumnya sudah meminta izin secara lisan kepada kepala adat marga Kammi sebagai pemegang hak ulayat sah. “Mereka sebelumnya merupakan anak dari warga Pulau Arar. Mereka pindah karena di Pulau Arar sudah tak ada tanah lagi untuk membuat rumah,” ujarnya.

Rosita khawatir, bila hutan adat suku Kammi dirampas, dirinya dan warga lainnya akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dia juga waswas terhadap potensi dampak buruk akibat menjamurnya industri skala besar dan menengah di Distrik Mayamuk. “Sekarang saja setiap naik air pasang terjadi banjir di Pulau Arar,” kata dia.

Terimbas Pengembangan KEK Sorong

Jalan penghubung utama KEK Sorong di Distrik Salawati, 23 September 2023. Dok. Tempo

Marga Kammi dan Kokmala bukanlah satu-satunya yang terancam oleh pengembangan KEK Sorong. Marga Klagilit Maburu juga kini ketar-ketir dengan rencana pemerintah membangun akses jalan penghubung KEK Sorong yang akan memakan hutan adat mereka.

Lazarus Klagilit, tokoh adat marga Klagilit Maburu, masih ingat peristiwa pada hari peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus lalu. Kamis sore itu, Lazarus diberi tahu oleh kerabatnya bahwa sejumlah pegawai pemerintahan datang ke lokasi hutan adat mereka untuk melakukan pengukuran. Dia pun bergegas pergi untuk menemui para aparatur sipil negara tersebut.

“Saat ditanya mereka mau apa, mereka bilang, ‘mau melakukan pengukuran batas hutan.’ Kami bilang, ‘kami sudah punya peta adat,’” kata Lazarus di Kampung Wonosobo, Distrik Moisegen, Kabupaten Sorong, 23 September lalu.

Lazarus merasa heran dengan kedatangan tamu tak diundang itu. Pasalnya, mereka mengaku sebagai pegawai Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Manokwari, sedangkan hutan adat marga Klagilit Maburu berada di wilayah Kabupaten Sorong. Rupanya, menurut Lazarus, pegawai tersebut mengukur untuk kepentingan proyek jalan penghubung KEK Sorong.

Masyarakat adat marga Klagilit selama ini menolak wilayah adat mereka dijadikan jalan akses KEK Sorong. Pasalnya, jalan itu akan merusak dusun sagu dan daerah keramat Klagilit.

“Langsung kami suruh pergi. Selama ini kami bertanya, KEK ini kawasan ekonomi khusus, tapi kami tak tahu khususnya untuk siapa? Yang pasti khususnya bukan untuk kami, masyarakat adat,” kata Lazarus.

Bagi marga Klagilit, hutan merupakan sumber kehidupan. Dia yakin, saat awal penciptaan dunia, hutan sudah diciptakan untuk masyarakat adat. Dari satu tempat, manusia menyebar ke penjuru dunia, lalu menetap di suatu lokasi. Dari lokasi itu, sudah ditentukan secara alami batas-batas hutan. Batas itu berupa sungai, gunung, hingga perbukitan. Selama itu pula masyarakat memanfaatkan hasil bumi dari hutan, seperti sagu dan keladi, serta hasil berburu. “Di hutan, kami tak perlu berkebun. Kami tinggal buang bibit saja, nanti tumbuh sendiri,” kata Lazarus.

Masyarakat adat Klagilit juga yakin ada tempat suci atau keramat di hutan mereka. Tempat itu tidak boleh diganggu dengan cara dirusak. Bila diganggu, akan memberikan dampak buruk bagi masyarakat Klagilit. “Itu tempat suci. Kami tak mau mendapat dampak,” ujarnya.

Karena itu, menurut Lazarus, menjual hutan juga tak ada manfaatnya. Ganti rugi yang diberikan tidak akan setimpal karena akan habis dalam satu hingga dua tahun saja. Sementara itu, hutan akan diteruskan kepada anak cucu kami terus-menerus. “Kami tidak bodoh,” ujarnya.

Badan Registrasi Wilayah Adat mencatat wilayah adat marga Klagilit Maburu-Mawera telah terverifikasi seluas 1.977 hektare. Marga Maburu-Mawera ini berjumlah 128 jiwa dari 35 keluarga. Mayoritas penduduk bekerja sebagai petani sagu.

Pemuda adat suku Moi marga Klagilit, Yakob Klagilit, mengatakan masyarakat menolak investasi karena trauma dengan industri sawit di Kampung Wonosobo. Masuknya perusahaan sawit sejak 2003 justru membuat hutan rusak.

Menurut Yakob, pengelola KEK Sorong telah mensosialisasi rencana pembangunan akses jalan sejak 2017 di Balai Desa Kampung Wonosobo. Namun warga menolak proyek itu. “Masyarakat adat tak mau hutan keramat mereka rusak,” kata pria berusia 22 tahun ini.

Marga Klagilit, kata Yakob, kini menjadi satu-satunya subsuku Moi yang masih bertahan menolak pembangunan jalan. Tujuh hutan adat milik subsuku Moi lainnya telah diterabas dan disulap menjadi jalan. “Karena itu, kami khawatir, sewaktu-waktu akan ada kekerasan kepada kami,” kata Yakob.

Selama ini, Yakob mengatakan masyarakat adat Suku Moi Seigin telah melakukan beberapa cara untuk mempertahankan hutan adat mereka. Di antaranya, mereka membuat peta adat yang isinya menjelaskan bukti sejarah dan budaya suku Moi Seigin. “Suku Moi Seigin juga memperkuat pendidikan adat para pemuda untuk menguatkan rasa cinta terhadap hutan,” ujarnya.

Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, Feki Wilson Mobalen, mengatakan mayoritas masyarakat suku Moi menduduki Kabupaten Sorong. Mereka, kata dia, semakin terancam oleh investasi yang semakin masif beberapa tahun terakhir, dari perkebunan sawit, minyak, gas bumi, hingga pertambangan. Semua sektor usaha itu mengambil alih hutan adat suku Moi. “Kalau terus dibiarkan, tidak ada lagi hutan untuk anak cucu suku Moi,” kata Feki.

Menurut Feki, pemerintah seharusnya menghormati dan tak bertindak sewenang-wenang atas wilayah adat suku Moi. Dia mengingatkan bahwa Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara Nomor 35/PUU-X/2012 yang menguji Undang-Undang Kehutanan telah menegaskan bahwa hutan adat merupakan hutan yang berada dalam wilayah masyarakat adat dan bukan lagi sebagai hutan negara. Sedangkan Pemerintah Kabupaten Sorong sejak enam tahun lalu menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Moi di Kabupaten Sorong.

Feki mengatakan masyarakat adat suku Moi sangat bergantung pada alam. Dusun-dusun sagu di hutan adat menjadi sumber penghidupan masyarakat. Begitu pula hutan menyediakan bahan pangan lainnya.

“Bahkan, jika masyarakat membutuhkan keindahan, mereka ke hutan untuk melihat anggrek, burung, dan lainnya. Karena itu, dalam filosofi orang Moi, hutan adalah mama,” kata Feki Mobalen. (TEM/ANT)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.