Berita Utama

Kemunduran Pemberantasan Korupsi

JAKARTA – Wajah 25 tahun reformasi 1998 dipandang semakin suram dengan gejala kemunduran agenda pemberantasan korupsi selama periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Revisi Undang-Undang Pemberantasan Korupsi yang kontroversial empat tahun lalu dinilai membuat gerakan antikorupsi semakin tak bertaji.

Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Danang Widoyoko, mengatakan indeks persepsi korupsi (IPK) yang disusun lembaganya bisa menjadi indikator betapa strategi dan program pemberantasan korupsi semakin tidak efektif. Dirilis pada Januari lalu, skor IPK Indonesia 2022 tercatat berada di level 34, anjlok empat poin dibanding IPK pada tahun sebelumnya paling drastis dalam kurun waktu lebih dari dua dekade terakhir.

Menurut Danang, penurunan itu bukan tiba-tiba. IPK Indonesia cenderung merosot empat tahun terakhir. Munculnya kebijakan-kebijakan yang menghambat proses demokrasi, seperti Undang-Undang Cipta Kerja, turut berperan terhadap penurunan indeks ini lantaran menambah risiko komponen korupsi politik yang selama ini sudah tinggi. “Tapi yang menurunkan (IPK) drastis adalah revisi UU KPK karena melemahkan komponen penegakan hukum,” kata Danang dilansir Tempo, Selasa (23/5/2023).

IPK, indeks yang disusun Transparency International sejak 1995, merupakan salah satu instrumen untuk mengukur tingkat korupsi di sektor publik. Indeks ini mengkombinasikan setidaknya tiga sumber data di antara 13 survei dan pengukuran korupsi sejumlah lembaga internasional, seperti Bank Dunia. IPK menggunakan skala 0-100, yang semakin rendah menunjukkan makin tingginya korupsi di negara yang disurvei.

Indonesia sebenarnya mencapai level IPK tertinggi pada 2019, yakni dengan skor 40. Namun, pada pengujung tahun itu, tepatnya pada 17 Oktober 2019, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengegolkan misi mereka untuk mengubah UU KPK. Rencana revisi ini sebelumnya memantik gelombang unjuk rasa di berbagai penjuru daerah yang dikenal dengan gerakan #ReformasiDikorupsi.

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, Busyro Muqoddas, menilai pemberantasan korupsi saat ini dalam kondisi lumpuh. “Bahkan korupsi semakin sistematis,” kata bekas Ketua KPK itu di Kantor Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Senin (22/5/2023).

Menurut Busyro, revisi UU KPK menyebabkan komisi antirasuah tersebut terkooptasi oleh politik negara, sebagaimana terjadi pada Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung. Dia khawatir penempatan KPK ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif semakin menyulitkan agenda pemberantasan korupsi. “Karena maraknya korupsi itu sumber utamanya adalah limbah politik sektor hulu di pemerintah pusat,” kata Busyro.

Hal yang sama diutarakan bekas Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto. Dia mengingatkan, pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme merupakan salah satu tuntutan reformasi 1998 yang kemudian dimandatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998. Namun, kini, setelah reformasi berumur seperempat abad, jumlah korupsi justru meningkat dan meluas. “Korupsi telah menjangkit semua sektor kehidupan. Tidak hanya di tingkat pemerintah pusat, tapi juga meluas hingga ke tingkat desa,” kata Bambang.

Revisi Menjadi Pintu Pelemahan Pemberantasan Korupsi

Ketua Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Totok Dwi Diantoro, mengatakan KPK merupakan anak kandung reformasi. Pasca-mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998, publik menginginkan lahirnya badan baru yang independen dan superkuat untuk menjalankan agenda pemberantasan KKN. Kala itu, Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung yang lebih dulu lahir diragukan untuk menjalankan agenda reformasi tersebut. “Karena kedua lembaga itu dianggap sebagai bagian pemerintah Orde Baru yang korup,” kata Totok. “Itulah yang menyebabkan peran KPK menjadi vital pasca-reformasi.”

Harapan itu terwujud. Keberanian KPK menindak kasus korupsi kelas kakap telah berkontribusi terhadap peningkatan IPK. Dalam kurun waktu 2002-2014, skor IPK Indonesia meningkat 19 poin. “Saat itu independensi KPK terjaga,” kata Totok.

Danang membenarkan. IPK Indonesia juga melompat dari 34 pada 2014 menjadi 40 poin pada 2019 karena aneka penindakan hukum oleh KPK. Pada masa itu, komisi antikorupsi juga tengah giat menjalankan berbagai aksi pencegahan korupsi, seperti lewat Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA). “Tapi penegakan hukum yang dilakukan KPK secara signifikan meningkatkan kepercayaan dari dunia bisnis terhadap sektor pelayanan publik,” kata Danang. “Sehingga, meski belum ada aturan yang ramah investasi, kepercayaan dunia bisnis tetap tinggi.”

Menurut Totok, independensi KPK pada masa lalu juga telah menempatkan lembaga ini sebagai institusi yang paling dipercaya publik. Riset kepercayaan publik yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada 2019, misalnya, mencatat KPK di posisi teratas, disusul presiden, kepolisian, dan pengadilan.

Survei lain yang digelar Populi Center pada Februari 2019 juga menyatakan KPK sebagai lembaga dengan kinerja paling baik. Saat itu, lembaga penegak hukum lainnya, seperti Polri dan Kejaksaan Agung, menempati peringkat ketiga dan kedelapan. “Namun semuanya berubah ketika pemerintah merevisi UU KPK,” kata Totok. Riset kepercayaan publik Lembaga Survei Indonesia pada Maret-April 2023 menempatkan KPK di peringkat keenam, setingkat di atas Polri. Adapun Kejaksaan Agung merangsek ke posisi kedua, di bawah Tentara Nasional Indonesia.

Revisi UU KPK dianggap melemahkan independensi komisi antikorupsi karena memasukkan lembaga tersebut ke rumpun kekuasaan eksekutif. Kondisi itu rentan menjadi pintu masuk intervensi terhadap KPK. Ketua IM57+ Institute. M. Praswad Nugraha, mengatakan revisi UU KPK menyebabkan hilangnya integritas pegawai lembaga tersebut. Undang-undang baru memaksa pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara. UU KPK kini juga mengizinkan pegawai menerima honor, sesuatu yang haram pada masa regulasi lama.

“Selain itu, undang-undang baru memberikan kewenangan kepada KPK untuk menghentikan penyidikan. Sedangkan izin penyadapan diperketat,” kata Praswad. “Ini tentu berbahaya bagi profesionalisme.”

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Agus Sunaryanto, sependapat. Revisi UU KPK jelas telah menyebabkan komisi antirasuah tak lagi bertaji. “Hari ini terlihat KPK lebih banyak sibuk dengan pemimpin KPK yang dilaporkan ke Dewan Pengawas ketimbang kasus korupsi,” kata Agus.

Hasil pemantauan ICW memperlihatkan memburuknya kinerja penindakan KPK sejak revisi undang-undang. Ada kecenderungan penurunan dalam penindakan tindak pidana korupsi oleh KPK sejak 2019 hingga 2021. Pada 2019, KPK menangani 62 kasus dengan 155 tersangka. Angkanya melorot pada 2020 menjadi 15 kasus dengan 75 tersangka. Adapun pada 2021, KPK menangani 32 kasus dan menetapkan 115 tersangka.

Tahun lalu, kinerja KPK mulai menunjukkan stagnasi, baik dari segi jumlah kasus maupun jumlah tersangka. Menurut Agus, stagnasi terjadi karena fungsi supervisi penindakan KPK tidak berjalan maksimal, KPK terlihat hanya berfokus pada pencegahan. “Selain itu, revisi UU KPK dan pimpinan kontroversial telah menjadi faktor buruknya tren penindakan kasus korupsi KPK,” kata Agus. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.