Kenaikan Alokasi Subsidi BBM Dinilai Sarat Muatan Politik
JAKARTA – Pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, melihat kenaikan alokasi subsidi BBM sarat muatan politik. Lonjakan alokasi subsidi tersebut bisa terjadi di luar tahun politik. Namun penyelenggaraan pemilu akan membuat pemerintah semakin mengerek alokasi subsidi BBM.
“Kuota subsidi ditambah agar tidak terjadi kelangkaan. Karena, kalau saat pemilu terjadi kelangkaan, itu akan mempengaruhi kepercayaan kepada pemerintah dan akan mempengaruhi calon yang di-endorse Presiden,” kata dia.
Ia yakin pemerintah akan melakukan segala upaya untuk menjaga harga energi, kendati itu akan membuat bengkak anggaran subsidi. Musababnya, kenaikan harga BBM dan listrik akan menyulut inflasi, yang ujung-ujungnya menekan daya beli masyarakat. Persoalan itu akan berujung pada gejolak sosial.
Dari catatan Fahmy, pemerintah akan cenderung menahan harga energi. Bahkan, kata dia, kalau bisa, menurunkannya pada tahun politik. Ia pun yakin permintaan kenaikan alokasi subsidi tersebut juga akan disetujui DPR.
Pada saat yang sama, Fahmy yakin kondisi itu pula yang membuat pembatasan penjualan Pertalite tak kunjung diterapkan. “Bukan pada tahun politik saja pembatasan tidak dilakukan secara serius. Ngomong doang. Apalagi di tahun politik. Naik (kuota subsidi) berapa pun akan dikasih,” kata Fahmy.
Kepala Pusat Penelitian Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, mengatakan kenaikan subsidi BBM tahun depan cukup signifikan, kendati belum memperhitungkan kuota Pertalite. Berdasarkan hitung-hitungan kasarnya, tambahan anggaran untuk subsidi solar bisa mencapai Rp 2,5 triliun. “Ini akan menjadi beban akut bagi APBN,” kata dia.
Pertalite pun setali tiga uang. Abra memperkirakan ada lonjakan kuota bahan bakar berkadar RON 90 tersebut. Apalagi saat ini pemerintah masih belum menerapkan pembatasan Pertalite. Jika hal itu dibiarkan, ia khawatir akan ada migrasi penggunaan BBM non-subsidi ke BBM bersubsidi. Musababnya, harga jual Pertalite relatif rendah di bawah harga keekonomian dan disparitas harganya cukup lebar dibanding BBM non-subsidi, Pertamax.
Apabila konsumsi bahan bakar bersubsidi naik dan non-subsidi berkurang, margin keuntungan Pertamina dari BBM non-subsidi bisa tergerus. “Ini juga berbahaya kalau pemerintah terlena dengan kondisi ini. Situasinya melenakan banyak pihak karena komoditas global sedang turun harganya,” ujar Abra. (TEM)