Komisi II Kebut Pembahasan RUU Pemekaran Papua
JAKARTA – Panitia kerja pemekaran Provinsi Papua pada Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat akan membahas secara maraton tiga rancangan undang-undang pemekaran Papua. Ketiga RUU itu adalah RUU Provinsi Papua Selatan, RUU Provinsi Papua Tengah, dan RUU Provinsi Pegunungan Tengah. Panitia kerja berencana menuntaskan pembahasan ketiga RUU itu pada 29 Juni mendatang, lalu disahkan lewat rapat paripurna DPR satu hari berikutnya.
Pembahasan ketiga RUU itu dimulai sejak kemarin. Meski target pembahasan hanya tujuh hari, Ketua Komisi II, Ahmad Doli Kurnia, membantah jika dikatakan pembahasan ketiga RUU itu dilakukan secara terburu-buru. Politikus Partai Golkar itu mengklaim proses pemekaran provinsi di Papua sudah berlangsung sejak tahun lalu.
Ia mengatakan embrio pemekaran Papua adalah Undang-Undang Otonomi Khusus Papua Nomor 2 Tahun 2021—merupakan revisi kedua undang-undang ini—yang disahkan DPR pada Juli tahun lalu. “Begitu UU Otonomi Khusus Papua diputuskan, kami di Komisi II langsung mengambil inisiatif,” kata Doli di DPR, Rabu (22/6/2022).
Rabu, panitia kerja pemekaran Papua dan pemerintah membahas daftar inventarisasi masalah (DIM) ketiga RUU versi pemerintah. RUU Papua Selatan terdiri atas 151 DIM, RUU Papua Tengah 156 DIM, dan RUU Pegunungan Tengah 153 DIM.
Di samping ketiga RUU tersebut, DPR sebenarnya hendak memekarkan Provinsi Papua dan Papua Barat menjadi tujuh provinsi. Ketujuh rencana provinsi itu adalah Papua Selatan, Papua Tengah, Pegunungan Tengah, Papua Barat Daya, Papua Utara, Papua, dan Papua Barat. Tapi pembahasan keempat RUU lainnya masih di tingkat Badan Legislasi dan belum disahkan menjadi usul inisiatif DPR. Sedangkan RUU Papua Selatan, Papua Tengah, dan Pegunungan Tengah sudah disetujui menjadi usul inisiatif DPR.
Saat pembahasan, panitia kerja pemekaran lebih dulu membahas DIM RUU Papua Selatan. Hasilnya, 40 DIM tidak mengalami perubahan, 15 DIM disetujui dengan perubahan redaksional, dan 29 DIM disetujui dengan perubahan substansi. Lalu 30 DIM dihapus dan 37 DIM merupakan usulan baru.
Pembahasan DIM tersebut berlangsung selama lima jam, dari pukul 13.30 hingga pukul 18.30 WIB. Di akhir rapat, seluruh peserta menyatakan hanya sebagian DIM RUU Papua Tengah dan RUU Pegunungan Tengah yang akan dibahas karena isinya hampir sama dengan DIM RUU Papua Selatan.
Panitia kerja dan pemerintah hanya membahas soal usulan ibu kota Papua Tengah dan perubahan nama Pegunungan Tengah. Kabupaten Nabire disepakati menjadi ibu kota Papua Tengah. Lalu nama Provinsi Pegunungan Tengah diubah menjadi Provinsi Pegunungan. Sedangkan DIM lainnya tak dibahas karena dianggap sama dengan DIM RUU Papua Selatan.
“Tadi kami langsung bentuk tim perumus dan tim sinkronisasi. Besok mereka akan bekerja berdasarkan rumusan yang sudah diselesaikan pada hari ini,” kata Doli.
Pemerintah yang diwakili Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Hiariej, Direktur Jenderal Kementerian Dalam Negeri Bahtiar, serta perwakilan dari Kementerian Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional juga menyetujui hasil pembahasan DIM tersebut.
“Terkait dengan dua RUU lainnya, kalau boleh secara mutatis mutandis dengan perubahan seperlunya, sama persis dengan Papua Selatan, kecuali yang bertalian dengan batas wilayah. Kalau disepakati, pemerintah setuju,” kata Edward.
Wakil Ketua I Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Filep Wamafma, yang juga hadir dalam rapat itu, menyayangkan langkah pemerintah yang terburu-buru hendak menuntaskan pembahasan pemekaran Papua. Ia tak melihat adanya urgensi dari pemekaran tersebut untuk kepentingan rakyat Papua.
“Politik strategi yang dibuat tanpa pertimbangan aspek sosiologi dan politik lokal. Ini bisa menimbulkan gap yang baru di periode yang baru dan akan sulit dirajut kembali,” kata Filep.
Dia mengatakan pembahasan ini dilakukan tanpa keterlibatan aktif Gubernur Papua hingga Majelis Rakyat Papua (MRP). Padahal, dalam Undang-Undang Otonomi Khusus, Gubernur Papua dan MRP seharusnya dilibatkan. Saat ini MRP mengajukan uji materi UU Otonomi Khusus Papua—dasar pemekaran Papua—ke Mahkamah Konstitusi.
Ahmad Doli Kurnia menyangkal pembahasan ketiga RUU tersebut tak melibatkan masyarakat Papua. Ia mengklaim berbagai stakeholder di Papua sudah diajak berbicara. Hasilnya, mayoritas masyarakat Papua menyetujui adanya pemekaran.
Di samping itu, kata Doli, Komisi II akan ke Papua untuk mendengarkan pendapat masyarakat Papua, hari ini. “Bahwa kemudian ada yang belum setuju, itu suatu hal yang biasa dalam proses pengambilan keputusan. Itu berdemokrasi, biasa saja. Jadi, yang kita lakukan sekarang adalah proses formal atau pematangan akhir saja,” kata Doli.
Kemarin malam, Komisi II mengundang MRP datang ke DPR untuk mendengarkan masukan mereka. Ketua MRP, Timotius Murib, mengatakan undangan rapat dari DPR baru diterima Raby sore, atau beberapa jam sebelum jadwal rapat dengar pendapat. Timotius masih dapat menghadiri rapat tersebut karena ia kebetulan berada di Jakarta.
Timotius menegaskan, sikap MRP tetap konsisten, yaitu mendesak pemerintah tak memaksakan untuk membentuk tiga daerah otonomi baru tersebut. Ia menyebutkan pembahasan ketiga RUU pemekaran tersebut sangat terburu-buru. Apalagi UU Otonomi Khusus Papua hasil revisi kedua belum tersosialisasi dengan baik.
“Yang MRP sayangkan adalah konsekuensi pemekaran ini ke depan. Selain konflik, banyak hal yang akan merugikan hak dasar orang asli Papua,” kata Timotius.
Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia, Nurina Savitri, menilai DPR terlihat tergesa-gesa merampungkan pemekaran tersebut. Indikasinya, panitia kerja sudah menargetkan pembahasan ketiga RUU harus tuntas pada akhir bulan ini.
“DPR harus berhati-hati karena pihak yang menolak dan menerima punya pertimbangan sendiri,” kata Nurina. “Jika memang benar pemekaran Papua ini dilakukan atas dasar pemenuhan hak masyarakat adat, seharusnya tahapan konsultasi dilakukan secara maksimal.” (TEM)