Konflik Agraria Meningkat Selama 2022
JAKARTA – Letusan konflik agraria meningkat sepanjang 2022 lalu. Ratusan ribu keluarga bertaruh nasib melawan kepentingan korporasi berbasis lahan dan proyek infrastruktur. Berhadapan dengan represi hingga kriminalisasi.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2022 yang dipublikasikan Senin (9/1/2023), mencatat sedikitnya 212 letusan konflik terjadi di 34 provinsi.
Sekretaris Jenderal KPA, Dewi Kartika, mengatakan, meski hanya bertambah lima kejadian dibanding pada 2021, masih tingginya letusan konflik sepanjang tahun lalu menunjukkan adanya stagnasi pada reforma agraria yang sudah lama dijanjikan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Hal yang lebih mengkhawatirkan, kata dia, ladang konflik agraria tahun lalu semakin luas dan korban dari masyarakat yang terkena dampak semakin banyak.
“Kami melihat belum ada perubahan signifikan yang dilakukan pemerintah, baik pusat maupun daerah, dalam menangani dan menyelesaikan konflik agraria,” kata Dewi.
KPA mencatat letusan konflik agraria sepanjang 2022 merambah 1,03 juta hektare lahan, dua kali lebih luas dibanding pada tahun sebelumnya. Masyarakat yang terkena dampaknya sebanyak 345.402 keluarga. “Jika kita asumsikan satu keluarga beranggotakan empat orang, lebih 1 juta jiwa menjadi korban letusan konflik agraria tahun lalu,” kata Dewi.
KPA menilai salah satu pemicu bertambah luasnya ladang konflik dan banyaknya warga yang terkena dampak adalah adanya upaya perusahaan perkebunan merebut lahan masyarakat dengan dalih mengantongi HGU. Tak sedikit pula terjadi perampasan tanah masyarakat oleh korporasi yang memperluas area usahanya tanpa hak.
Tak ayal, seperti tahun-tahun sebelumnya, sektor perkebunan menjadi sektor dengan jumlah letusan konflik terbanyak dan terluas. Tahun lalu, sebanyak 99 konflik agraria pecah di sektor usaha ini, sebagian besar pada perkebunan sawit. Sebelumnya, pada 2021, sebanyak 74 kasus dari total 207 letusan konflik agraria juga terjadi di bisnis tersebut.
Yang menarik, sebanyak 32 konflik agraria juga meletus tahun lalu pada proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Sisanya, konflik agraria merambah bisnis berbasis lahan lainnya, seperti kehutanan, pertambangan, dan properti.
Menurut Dewi, banyaknya letusan konflik agraria yang menghadapkan masyarakat dengan korporasi menjadi bukti bahwa program reforma agraria belum berhasil menjawab masalah ketimpangan penguasaan tanah selama ini. Dia menilai pemerintah cenderung hanya sibuk membagikan sertifikat tanah, yang sebenarnya kurang tepat dianggap sebagai reforma agraria. “Pembagian sertifikat bukannya buruk. Tapi, kalau dicantolkan ke reforma agraria, akan menjadi salah kaprah,” ujarnya.
Digagas Presiden Joko Widodo pada 2015, program reforma agraria baru digeber pada 2018 lewat penerbitan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018. Dalam pelaksanaannya, reforma agraria terbagi dalam dua program kegiatan. Pertama, legalisasi aset, yakni pemerintah mendorong sertifikasi hak milik atas tanah transmigrasi dan masyarakat umum. Kegiatan pembagian sertifikat kepada masyarakat ini sebelumnya rajin dipertontonkan Jokowi menjelang pemilihan presiden 2019.
Di sisi lain, reforma agraria juga berupa redistribusi tanah. Disebut redistribusi lantaran pemerintah akan mengalihkan penguasaan aset dan akses atas tanah negara, baik yang berasal dari bekas HGU habis masa berlaku, tanah telantar, maupun pelepasan kawasan hutan, untuk tanah obyek reforma agraria. Program redistribusi ini sejak awal didorong oleh para pemerhati masalah agraria. Salah satunya untuk menyelesaikan konflik-konflik tenurial yang bertahun-tahun tak terselesaikan.
Masalahnya, capaian reforma agraria memang jomplang. Berdasarkan data Kementerian Koordinator Perekonomian mencatat, per September 2022, kinerja program legalisasi aset berupa pensertifikatan tanah telah mencapai lebih dari 100 persen dari target 4,5 juta hektare. Sedangkan realisasi redistribusi tanah baru 33,24 persen dari target awal 4,5 juta hektare.
Majelis Pakar KPA, Iwan Nurdin, menyoroti adanya masalah keterbukaan dalam tata kelola HGU sebagai salah satu penyebab buruknya kinerja reforma agraria dan tingginya konflik. Menurut dia, selama ini penerbitan HGU—termasuk perpanjangan—tak pernah transparan. “HGU yang sesuai dengan ketentuan hanya diberikan atas tanah yang clean and clear, termasuk dijamin tidak ada konflik,” kata Iwan, kemarin. “Masih banyaknya konflik di lahan yang diklaim ber-HGU menunjukkan ada yang salah sejak awal dalam pemberian HGU tersebut.”
Iwan pun menyinggung pernyataan terbaru Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan peta ribuan HGU atas jutaan hektare lahan tak teridentifikasi. Dia menilai permasalahan ini tak hanya berpotensi memicu konflik agraria, tapi juga rentan menjadi ladang korupsi. “Korbannya satu, masyarakat, para petani,” ujarnya.
Represi Meningkat
Dewi Kartika juga mencermati gejala meningkatnya penggunaan kekerasan yang melibatkan aparat keamanan setahun terakhir. “Kami kok melihat ini menjadi dilembagakan. Setiap perampasan lahan masyarakat malah mendapat pengawalan dari aparat,” ujarnya.
Dalam catatan KPA, sepanjang tahun lalu, terjadi 73 letusan konflik agraria disertai tindakan kekerasan oleh polisi, TNI, Satuan Polisi Pamong Praja, dan petugas pengamanan perusahaan. Pendekatan kekerasan itu diduga menelan tiga korban jiwa di wilayah konflik Provinsi Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Puluhan orang lainnya dilaporkan terluka akibat penganiayaan dan penembakan.
Yang tak kalah mengkhawatirkan, represi berupa kriminalisasi terhadap masyarakat juga meningkat tajam. Sepanjang 2022, sedikitnya 471 orang—baik warga yang menuntut haknya maupun para pegiat agraria—dikriminalisasi. Angka ini melampaui jumlah kasus kriminalisasi di tengah konflik agraria sepanjang 2020 dan 2021 yang dialami 270 orang.
“Di antara kasus-kasus itu, misalnya, dialami warga penolak rencana tambang batu andesit di Desa Wadas, juga penolak kebijakan Kawasan Wisata Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo,” kata Dewi. “Praktik penanganan yang represif ini memperkeruh situasi di lapangan.”
Menurut Ketua Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Atnike Nova Sigiro, lembaganya telah menjadikan isu konflik agraria sebagai salah satu prioritas kerja 2022-2027. Sejauh ini, kata dia, aduan tentang masalah konflik agraria merupakan yang terbanyak kedua setelah kekerasan aparat. “Dan sangat mungkin kekerasan itu juga berhubungan dengan masalah pertanahan,” kata Atnike.
Atnike memastikan Komnas HAM akan menggunakan kewenangannya untuk mencegah berlanjutnya bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia dalam penyelesaian konflik agraria. “Itu sebabnya kami juga telah membentuk satuan tugas khusus untuk memantau persoalan ini,” ujarnya. (TEM)