Berita Utama

Korupsi Dinilai Jadi Akar Konflik Papua

JAKARTA – Korupsi dan lemahnya penegakan hukum dinilai menjadi akar konflik di Papua. Tidak saja pembangunan jadi tersendat, rakyat Papua pun jadi tidak merasakan kehadiran negara.

Hal ini disampaikan John Djonga, rohaniwan Katolik, dalam kunjungannya ke Kantor Staf Presiden (KSP), pada media Juni 2022 lalu.

John menyampaikan keluhan masyarakat dan para tetua adat terkait kasus dugaan korupsi di Kabupaten Keerom, Papua. John, yang didampingi warga Keerom, Ronald Apnawas, diterima oleh Yusuf Hakim Gumilang dan Theo Litaay, keduanya tenaga ahli madya Deputi V KSP.

Ronald mengatakan, banyak pembangunan seperti jalan yang terbengkalai. Di sisi lain, aparatur sipil negara bahkan tenaga kesehatan jadi kehilangan motivasi karena banyak tunjangan yang dipotong. Akibatnya, pemerintahan tidak berjalan sebagaimana seharusnya. Masyarakat jadi merasa tidak ada kehadiran pemerintah pusat di Papua.

Dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tertanggal 20 Mei 2022, yang ditandatangi Penanggung Jawab Pemeriksaan Arjuna Sakir, ditemukan ada kelemahan pengendalian intern dan ketidakpatuhan terhadap undang-undang. Selain ada kesalahan belanja anggaran sebesar Rp 6,32 miliar dalam laporan keuangan Kabupaten Keerom tahun 2021, juga ada kekurangan volume pekerjaan.

Yusuf yang menerima laporan tersebut mengatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan pejabat terkait. Adapun Theo melihat pentingnya masalah ini tidak saja karena nominalnya, tetapi juga karena lokasi Keerom yang berbatasan langsung dengan Papua Niugini.

John mengatakan, korupsi Papua terjadi di mana-mana. Untuk itu, aparat hukum harus tegas dan memberikan hukuman yang tegas kepada koruptor. Ia juga menyoroti masalah perbatasan di mana ketika ada masalah, masyarakat Keerom bisa saja lari ke negara tetangga. ”Oknum pemerintah yang sering jadi sebab ketidakadilan,” ujarnya.

Ronald mengatakan, akibat korupsi ini, masyarakat jadi tidak merasakan fasilitas kesehatan dan pendidikan dari pemerintah. Ia mencontohkan, ada dugaan korupsi terkait dengan ketersediaan obat. Akibatnya, masyarakat yang sakit jadi sulit berobat.

Ketua Umum Dewan Adat Keerom Servasius Servo Tuamis yang menitipkan tuntutannya menulis tentang persoalan ruas jalan dari Tefalma sampai Towe Hitam. Mereka juga mempertanyakan insentif untuk tenaga kesehatan yang tidak kunjung turun untuk tahun 2021.

”Katanya ada refocussing anggaran untuk Covid, tetapi nakes (tenaga kesehatan) masih tidak dibayar,” tulis Servasius.

Sengkarut korupsi dan minimnya penegakan hukum di Keerom menjadi salah satu contoh ruwetnya sistem administrasi pemerintahan di Papua. Berbagai hal menjadi penyebab mulai dari lemahnya kontrol, rendahnya kapasitas SDM, hingga masalah politik seperti ancaman konflik dan separatisme.

“Hal ini ditambah dengan masalah sosial seperti masalah tanah ulayat, hak-hak ASN yang tidak dibayar penuh, hingga SDM lokal Papua yang belum banyak mendapatkan kesempatan dibandingkan pendatang. Masalah-masalah ini kerap tertimbun di daerah, tidak saja karena akses informasi dan jaringan tetapi juga ada kerja sama elit yang punya kepentingan,” papar John Djonga.

Kerap kali isu korupsi menyeruak ke Jakarta, yang biasanya terjadi pengalihan isu, yaitu tiba-tiba bendera bintang kejora yang berkibar di Keerom. Pemerintah kemudian buru-buru merespons dengan pendekatan keamanan.

“Padahal, ada lapisan-lapisan masalah yang harus diselesaikan sejak awal, yaitu korupsi yang kerap terjadi Tanah Papua selalu di”belokkan” dengan pengibaran bendera bintang kejora. Itulah yang biasanya disuarakan masyarakat dengan nada lirih agar tak hanya keamanan yang ditegakkan tetapi juga korupsi,” Kata John. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: