Berita UtamaInforial

Laporkan Kejanggalan Harta Kekayaan Calon di Pilkada 2020

JAKARTA, papuabaratnews.co – Publik diminta ikut mengawasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara para calon kepala/wakil kepala daerah yang berkontestasi dalam Pemilihan Kepala Daerah 2020. Jika dinilai ada yang tidak wajar, publik bisa melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi melalui menu e-Announcement di website elhkpn.kpk.go.id.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, Minggu (25/10/2020), mengatakan, calon kepala/wakil kepala daerah sering kali melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) sebatas untuk memenuhi syarat administratif. Akibatnya, publik juga sulit membuktikan kebenaran LHKPN tersebut.

Meski demikian, jika ditemukan kejanggalan atau ketidakbenaran terhadap LHKPN, publik bisa menyampaikannya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Harapannya, KPK dapat memeriksa LHKPN yang janggal itu secara patut.

”Publik harus sama-sama aktif mengawasi calon kepala daerah, minimal di daerahnya masing-masing. Kalau ditemukan kejanggalan atau ada hal yang tidak benar, dilaporkan,” ujar Egi.

Hasil olah data LHKPN terhadap 1.474 calon kepala dan wakil kepala daerah oleh KPK per 19 Oktober menunjukkan, 12 kandidat melaporkan harta mereka minus. Jumlah yang dilaporkan bervariasi, mulai dari minus Rp 8 juta hingga minus Rp 3,5 miliar.

Sebanyak 12 kandidat itu terdiri dari tujuh calon bupati/wali kota dan lima calon wakil bupati/wakil wali kota. Jumlah kandidat berharta minus pada Pilkada 2020 naik dibandingkan dengan Pilkada 2018, yakni dua kandidat.

Kandidat dengan harta minus terbanyak adalah calon wakil bupati Sijunjung, Sumbar, Indra Gunalan, yang melaporkan hartanya minus Rp 3,5 miliar. Ia berpasangan dengan Hendri Susanto yang memiliki kekayaan Rp 265 juta.

Egi menyampaikan, dengan ikut mengawasi LHKPN, publik dapat sekaligus memastikan apakah dari tahun ke tahun terjadi kenaikan kekayaan yang drastis secara khusus terhadap kandidat petahana. Jika terjadi kenaikan kekayaan yang drastis, itu yang dinamakan kekayaan yang tidak wajar (illicit enrichment).

”Sebetulnya persoalan ini menjadi sorotan sejak lama, ada penggelembungan kekayaan secara drastis ketika dia menjadi pejabat publik. Sayangnya, sering kali itu tidak menjadi sorotan yang luas oleh publik,” ucap Egi.

Namun, sayangnya, illicit enrichment tak kunjung diatur di undang-undang tindak pidana korupsi. Padahal, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), illicit enrichment merupakan hal penting untuk ditindaklanjuti oleh Indonesia sebagai negara peserta konvensi.

Saat ini, dari 193 negara yang ada di dunia, setidaknya sudah ada 44 negara yang memiliki instrumen hukum setingkat UU tentang illicit enrichment. Sebanyak 39 negara di antaranya mengenakan sanksi kurungan atau penjara, seperti Cina, India, Malaysia, Brunei, Makao, Bangladesh, dan Mesir.

”Padahal, semestinya di negara kita, dengan banyaknya kasus kekayaan yang tidak wajar, itu diatur dalam hukum positif kita. Tetapi, sayang belum diatur di hukum positif kita. Padahal, kan, lewat LHKPN bisa terlihat andaikata ada penggelembungan harta kekayaan dan ini misal sudah diatur secara hukum positif, bisa ditelusuri lebih dalam. Jangan-jangan ada tindak pidananya,” kata Egi.

Pencegahan korupsi

Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menuturkan, LHKPN merupakan salah satu cara untuk pencegahan korupsi karena komponen yang dituju adalah transparansi dan akuntabilitas penyelenggara negara (PN) secara individual.

”Dalam undang-undang secara jelas, salah satu upaya pencegahan adalah mendorong transparansi harta individual penyelenggara negara. Dengan transparansi diumumkan ke publik, partisipasi masyarakat dapat terjadi untuk kontrol,” kata Pahala.

Melalui LHKPN, masyarakat dapat mengukur komitmen transparansi PN dalam pencegahan korupsi. Komitmen dapat diukur dari kepatuhan penyampaian dan kebenaran isi laporan. LHKPN juga dapat untuk mengukur komitmen kepala daerah, menteri, dan kepala lembaga.

Masyarakat dapat mengakses menu e-Announcement melalui situs web elhkpn.kpk.go.id. untuk melihat isian harta dari penyelenggara negara. Jika masyarakat merasa tidak yakin terhadap kesesuaian harta atau memiliki informasi harta lain yang belum diharapkan, masyarakat dapat memberikan informasi atau komentar pada menu e-Announcement tersebut.

Menurut peneliti hukum dan kebijakan Transparency International Indonesia, Reza Syawawi, LHKPN hanya instrumen administrasi untuk melengkapi syarat pencalonan. ”Seharusnya KPK dan penyelenggara pemilu membuka data LHKPN tersebut kepada publik sebelum disahkan dan memenuhi syarat,” kata Reza.

Ia menegaskan, jika ada indikasi memberikan informasi yang tidak benar atau menyembunyikan harta/aset tertentu, seharusnya LHKPN itu dinyatakan tidak valid, tidak sah, dan tidak memenuhi syarat sehingga pencalonan bisa dibatalkan.

Menurut Reza, dari hasil kajian KPK, ketidakmampuan calon kepala/wakil kepala daerah membiayai kampanye sendiri sering kali membuat mereka bergantung pada pemodal atau cukong. Akhirnya, ketika mereka terpilih dan menjabat, mereka harus menuruti kemauan pemodal sekalipun melanggar hukum. (KOM)

**Artikel ini Telah Terbit di Harian Papua Barat News Edisi Selasa 27 Oktober 2020

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.