Berita Utama

MA Dituntut Selektif Pilih Calon Hakim Kasus Paniai

JAKARTA – Mahkamah Agung meloloskan 33 calon hakim ad hoc untuk Pengadilan Hak Asasi Manusia tingkat pertama dan tingkat banding. Para calon hakim itu diharapkan memiliki kapasitas, integritas, dan independen karena mereka akan menangani perkara dugaan pelanggaran HAM berat yang ditengarai melibatkan pelaku dari institusi negara. Kasus dalam waktu dekat akan disidangkan adalah dugaan pelanggaran HAM di Paniai, Papua.

Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Sobandi dalam keterangan tertulis, Selasa (12/7/2022), mengatakan, panitia seleksi calon hakim ad hoc untuk Pengadilan HAM meloloskan 33 calon hakim setelah melalui seleksi administrasi dan ujian tertulis. Para calon hakim yang lolos ini berasal dari berbagai kalangan, di antaranya hakim karier, advokat, akademisi, aparatur sipil negara, mantan komisioner Komnas HAM, purnawirawan TNI, dan analis hukum.

Setelah lolos tes tertulis, para calon hakim diagendakan mengikuti seleksi asesmen profil dan wawancara yang akan diselenggarakan pada 18-21 Juli 2022 di Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan MA, Bogor, Jawa Barat. Selanjutnya, pansel akan memilih enam hakim ad hoc tingkat pertama dan enam hakim ad hoc tingkat banding.

”Panitia seleksi juga mengundang masyarakat untuk memberikan masukan terhadap nama-nama yang lolos seleksi tertulis ini melalui email hakim.ham@pembaruan.mahkamahagung.go.id paling lambat Senin, 18 Juli 2022 pukul 23.59,” ujar Sobandi melalui keterangan resmi.

Sobandi menyebutkan, panitia seleksi calon hakim ad hoc berasal sepenuhnya dari unsur MA. Sesuai dengan Surat Keputusan Ketua MA Nomor 205/KMA/SK/VI/2022 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Hakim Ad Hoc untuk Pengadilan HAM Tingkat Pertama dan Banding 2022, Ketua Pansel adalah Wakil Ketua MA Bidang Yudisial Andi Samsan Nganro. Adapun, Wakil Ketua Pansel adalah Ketua Kamar Pidana MA Suhadi. Seluruh anggota struktur organisasi pansel berasal dari kalangan internal MA.

”Calon hakim ad hoc Pengadilan HAM yang terpilih nantinya akan bertugas untuk mengadili perkara dugaan pelanggaran HAM berat Paniai, Papua. MA harus mengadakan seleksi lagi karena hakim ad hoc yang sebelumnya sudah banyak yang pensiun,” imbuh Sobandi.

Pilih yang berkualitas

Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani berpendapat, MA harus bisa memilih sosok hakim yang berkualitas, independen, dan memiliki perspektif perlindungan HAM. Sebab, hakim ini nantinya akan menggali kebenaran materiil terkait kejahatan luar biasa yang melibatkan aktor negara. Oleh karena itu, pansel harus benar-benar menguji kapasitas calon hakim tersebut. Selain itu, tak kalah penting, MA juga harus menelusuri rekam jejak para calon hakim.

Terakhir, Indonesia menyidangkan kasus pelanggaran HAM berat Abepura pada tahun 2004. Pembelajaran yang didapat dari persidangan tersebut adalah pemeriksaan di persidangan tidak bisa mengungkapkan bahwa ada struktur negara yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Pelanggaran HAM berat selalu melibatkan aktor negara dengan struktur organisasi tertentu, bukan kepada individu. Namun, peradilan kasus Abepura gagal mengungkap keterlibatan aktor negara dalam peristiwa tersebut. Dalam konteks pelanggaran HAM berat, struktur negara yang terlibat harus diungkap. Struktur itu meliputi pejabat negara, unsur komando, dan tim yang mewakili instansi yang mewakili negara.

”Gambaran yang sama sudah terlihat sejak pemeriksaan kasus Paniai ini. Hanya ada satu tersangka yang ditetapkan, yaitu IS, yang pada saat peristiwa pada Desember 2014 merupakan perwira penghubung di Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai. Yang dimunculkan individu, bukan aktor negara. Ini judulnya doang pelanggaran HAM berat, tetapi kasusnya seperti pembunuhan biasa,” terang Julius.

Meskipun demikian, Julius berharap dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman, hakim ad hoc HAM yang saat ini sedang diseleksi oleh MA dapat mengungkap kebenaran materiil itu di persidangan. Output yang diharapkan dari sidang kasus dugaan pelanggaran HAM berat adalah adjudikasi pertanggungjawaban pejabat, tetapi juga instansi. Namun, jika tidak unsur keterlibatan instansi negara tidak tergambarkan, artinya tidak akan ada pertanggungjawaban tersebut.

”Untuk sampai di situ, calon hakim yang diseleksi haruslah memiliki pengalaman dan rekam jejak di bidang HAM. Namun, kami tidak melihat dari calon-calon yang lolos seleksi itu belum ada yang menggambarkan secara kuat hal itu,” imbuh Julius.

Julius juga berharap, pansel MA tidak meloloskan calon hakim yang sebelumnya mendapatkan rapor merah dari Komisi Yudisial saat mengikuti seleksi calon hakim agung. Dari nama-nama calon yang dirilis MA, Julius menyebut ada satu calon yang pernah tak lolos seleksi cakim agung karena pernah memotong hukuman eks jaksa Pinangki Sirna Malasari di tingkat banding. Rekam jejak ini penting dipertimbangkan mengingat hakim ad hoc HAM akan menyidangkan perkara yang melibatkan negara. Mereka harus independen dan berintegritas sehingga menghasilkan putusan yang tidak terpengaruh pihak lain.

”Harapan publik begitu tinggi terhadap peradilan kasus Paniai ini. MA jangan main-main dalam memilih hakim,” tegas Julius. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.