Manuver DPR Menganulir Putusan Mahkamah Konstitusi
JAKARTA — Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat secara tiba-tiba menjadwalkan rapat pada Rabu ini, 21 Agustus 2024. Rapat pembahasan revisi ketiga Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 itu digelar sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengubah syarat ambang batas pencalonan kepala daerah.
“Betul, besok pagi (pagi ini, red),” ujar anggota Baleg DPR, Firman Soebagyo, melalui pesan pendek saat dimintai konfirmasi pada Selasa malam (20/8/2024).
Dalam putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK menyebutkan partai atau gabungan partai politik tak lagi harus mengumpulkan 20 persen kursi di dewan perwakilan rakyat daerah atau 25 persen suara sah untuk mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Ada empat klasifikasi besaran suara sah yang ditetapkan MK, yaitu 10 persen; 8,5 persen; 7,5 persen; dan 6,5 persen, tergantung jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut.
Menurut sejumlah sumber, rapat Baleg DPR ditengarai bukan hanya untuk menindaklanjuti putusan MK, tapi juga menganulirnya. Ada dua skenario yang disebut disiapkan di Baleg DPR. Pertama, mengembalikan putusan MK dengan tetap menerapkan Pasal 40 tentang syarat ambang batas, yaitu 20 persen kursi DPRD bagi partai atau gabungan partai untuk mengusung calon. Kedua, memberlakukan putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 itu di pilkada 2029.
Rapat untuk membahas aturan ambang batas itu disebut bakal digelar pada Rabu, 21 Agustus 2024, mulai pukul 10.00 WIB. Kemudian, rapat panitia kerja membahas revisi Undang-Undang Pilkada dilanjutkan pada pukul 13.00 WIB. Pada pukul 19.00 WIB, Baleg akan menggelar rapat kerja dengan pemerintah dan DPR untuk pengambilan keputusan.
Sumber itu menyebutkan aturan syarat ambang batas 20 persen kursi DPRD akan diajukan melalui pengesahan peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang mengatur RUU tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau RUU Pilkada. Regulasi tersebut bakal merevisi Undang-Undang Pilkada yang ada saat ini.
Ada pula tambahan pasal dalam revisi Undang-Undang Pilkada, yaitu Pasal 201B. Dalam draf revisi Undang-Undang Pilkada, pada Pasal 201B disebutkan bahwa syarat pencalonan kepala daerah, yang diusung partai politik atau gabungan partai politik dalam pemungutan suara serentak nasional, didasarkan pada hasil Pemilu 2024 dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Pilkada. Dalam Pasal 40 disebutkan bahwa aturan ambang batas calon di pilkada tetap menggunakan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen akumulasi perolehan suara sah pemilihan legislatif di daerah tersebut.
Adapun Wakil Ketua Baleg Achmad Baidowi membantah anggapan bahwa ada skenario untuk menganulir putusan MK, meski diakui rapat itu membahas persoalan sehubungan dengan syarat pencalonan di pilkada. Saat dimintai konfirmasi, dia menegaskan, pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada tidak mendadak.
Menurut anggota DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan ini, RUU Pilkada merupakan usul inisiatif DPR dan sudah dikirim ke pemerintah, lalu terbit surat presiden atau surpresnya untuk pembahasan. “Surpres dari pemerintah menjawab usulan DPR, dan pada saat yang bersamaan ada putusan MK, sehingga semuanya diakomodasi,” ujar Achmad Baidowi, kemarin.
Dalam kesempatan terpisah, anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Ledia Hanifa Amaliah, menilai MK dalam putusannya tidak berwenang membentuk norma. Menurut dia, ketika ada pembatalan atas suatu undang-undang atau bagian undang-undang, Mahkamah Konstitusi seharusnya mengembalikan kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah.
Ia menjelaskan, DPR dan pemerintah akan menerbitkan undang-undang yang baru, bisa berupa perubahan atas undang-undang tersebut atau penggantian undang-undang. “DPR menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi agar bisa menjadi norma hukum pelaksanaan pilkada. Ini masuk kategori pembahasan RUU kumulatif terbuka,” ujar Ledia, Selasa (20/8/2024).
Adapun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) curiga pembahasan revisi undang-undang Pilkada untuk menganulir putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024.
Ketua Bidang Hukum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP Ronny Talapessy menilai ada yang janggal karena rapat pembahasan revisi Undang-Undang Pilkada, rapat panja, dan rapat pengambilan keputusan digelar pada hari yang sama. Apalagi, kata dia, Pasal 40 Undang-undang Pilkada sudah diuji di Mahkamah Konstitusi sehingga aneh jika tiba-tiba ada pembahasan revisi undang-undang tersebut. “Kok, tiba-tiba ada agenda RUU Pilkada?” kata Ronny seusai rapat tertutup di kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2024).
Bagi PDIP, putusan ini membuka peluang untuk mengusung calon dari partainya sendiri dalam pemilihan Gubernur Jakarta. Pada Pemilu 2024, perolehan suara PDIP di Jakarta mencapai 941.794 suara atau 15,65 persen. Jumlah ini cukup untuk mengusung pasangan calon di pilkada serentak dengan batas minimal syarat 7,5 persen. Bukan hanya pilkada Jakarta, putusan MK ini juga bisa berimbas pada pilkada di daerah lain. Putusan MK juga bisa mengubah konstelasi persaingan, bahkan bisa memicu perubahan koalisi partai politik.
Dihubungi secara terpisah, pengajar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menuturkan tidak ada upaya hukum lain yang bisa melawan putusan MK. Apabila DPR dan pemerintah mengubah Undang-Undang Pilkada, kata Herdiansyah, undang-undang yang direvisi pun harus berpatokan pada putusan MK. “Kalau DPR dan pemerintah merevisi tanpa berpatokan pada putusan MK, jelas itu serupa dengan pembangkangan hukum. Ini berbahaya bagi demokrasi kita,” ujar Herdiansyah, kemarin. (tem/pbn)