Melacak Pemufakatan Jahat Para Tersangka
JAKARTA – Kejaksaan Agung akan mendalami pola komunikasi di antara empat tersangka kasus dugaan korupsi izin ekspor CPO (crude palm oil) pada Januari 2021 hingga Maret 2022. Pendalaman itu akan mengandalkan barang bukti hasil penggeledahan penyidik kejaksaan di sepuluh lokasi.
Jaksa Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Febrie Adriansyah, mengatakan sepuluh lokasi itu tersebar di Jakarta, Batam, Bekasi, Padang, Medan, dan Surabaya. Berdasarkan hasil penggeledahan yang berlangsung sejak 5 April lalu tersebut, penyidik mengumpulkan 650 dokumen, termasuk dokumen elektronik.
“Barang bukti ini akan memperkuat bagaimana kerja sama di antara para tersangka. Yang tentunya ini masih dalam penelitian penyidik sehingga tidak saya sebutkan apa bentuk-bentuk percakapan mereka di barang bukti tersebut,” kata Febrie dilansir Tempo, Sabtu (23/4/2022).
Selasa lalu, Kejaksaan menetapkan empat tersangka kasus dugaan korupsi izin ekspor CPO. Keempat tersangka itu adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrashari Wisnu Wardhana; Komisaris Utama PT Wilmar Nabati Indonesia, Master Parulian Tumanggor; Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group, Stanley M.A.; dan General Manager di Bagian General Affairs PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang. Keempatnya disangka melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Keempat tersangka diduga melakukan pemufakatan jahat dan melawan hukum sehingga terbit persetujuan ekspor CPO kepada empat perusahaan, yaitu PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, PT Musim Mas, dan Permata Hijau Group. Padahal empat perusahaan itu tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan izin ekspor bahan baku minyak goreng karena belum memenuhi kewajiban ketentuan domestic market obligation (DMO), yaitu perusahaan wajib mendistribusikan 20 persen CPO di dalam negeri dari target ekspor mereka.
Febrie menjelaskan, rasuah ini berawal saat pemerintah lewat Menteri Perdagangan mewajibkan pengusaha memenuhi DMO sebesar 20 persen sebelum mendapatkan izin ekspor CPO. Namun sejumlah perusahaan diduga menghubungi Indrashari agar tetap mendapatkan izin ekspor meski tak memenuhi kewajiban tersebut.
Menurut Febrie, kasus ini masih akan berkembang. Kejaksaan berencana menerapkan pasal-pasal gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) kepada para tersangka. “Untuk TPPU, semua tidak tertutup kemungkinan kami kembangkan. Kalau untuk pengembangan pasal-pasal yang terkait dengan gratifikasi, masih didalami,” kata dia.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menduga perusahaan para tersangka itu merupakan pemain liga besar mafia minyak goreng. MAKI mencatat ada sembilan perusahaan besar yang diduga terlibat mafia minyak goreng, yang membuat bahan kebutuhan pokok itu menjadi langka di dalam negeri.
“Mereka punya kendali, dari kebun sawit, pabrik CPO, pabrik minyak goreng, hingga perusahaan distribusi, dan diduga memiliki grup perusahaan di luar negeri,” kata Boyamin.
Boyamin yakin bahwa penyidikan Kejaksaan Agung akan merembet ke lembaga lain di luar Kementerian Perdagangan. Apalagi kasus dugaan korupsi ini ditengarai berkaitan dengan pengenaan pajak yang tidak terpungut.
“Tapi bisa saja perusahaan yang lebih besar ini nanti tidak dapat dijerat karena memang tidak melanggar aturan dalam proses izin ekspornya,” ujar dia.
Sekretaris Jenderal Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, mengatakan mafia minyak goreng ini telah mencoreng promosi perdagangan minyak sawit Indonesia dalam aspek sustainability. Wilmar Group, PT Musim Mas, dan Permata Hijau Group merupakan anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil, lembaga sertifikasi minyak sawit berkelanjutan dunia.
Mansuetus berharap Kejaksaan dapat menelusuri keterlibatan aktor lain dalam kasus dugaan korupsi izin ekspor CPO ini. “Apalagi perihal minyak goreng ini, saling terhubung dari hulu hingga hilir,” katanya. (TMP)