Mencontoh Pengakuan Belanda atas Kekerasan Militer
JAKARTA – Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan pemerintah Indonesia mesti mencontoh pengakuan Belanda atas berbagai peristiwa kekerasan militer mereka di Tanah Air selama periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada 1945-1949.
Peneliti senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu mengatakan Indonesia patut juga meminta maaf kepada warganya atas berbagai kekerasan di masa lalu, di antaranya peristiwa 1965.
“Saat itu, Indonesia pernah mencabut kewarganegaraan orang Indonesia di luar negeri yang kemudian menjadi eksil,” kata Asvi, Jumat (18/2/2022).
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte meminta maaf kepada Indonesia atas kekerasan militer Belanda di Indonesia pada periode 1945-1949. Permintaan maaf itu merespons hasil riset tiga lembaga penelitian, yaitu Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV), Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), serta Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD). Ketiga lembaga ini melibatkan lebih dari 25 peneliti, termasuk 12 peneliti dari Universitas Gadjah Mada.
Mereka mempublikasikan proyek penelitian itu dengan judul “Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1949” pada Kamis, 17 Februari 2022. Hasil riset ini menyimpulkan bahwa kekerasan ekstrem militer Belanda pada periode mempertahankan kemerdekaan Indonesia, atau di Belanda dikenal dengan sebutan Bersiap, dilakukan secara meluas dan penuh kesengajaan. Kekerasan itu juga mendapat pembiaran, baik dari segi hukum, militer, maupun yudisial.
Dalih pembiaran tersebut adalah niat dan upaya pemerintah Belanda lewat pelbagai cara untuk mengalahkan Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Dalam upayanya itu, pemerintah Belanda secara sengaja tidak mengindahkan batasan-batasan etis yang berlaku.
Selama perang berlangsung, militer Belanda terus melakukan kekerasan ekstrem secara struktural, dari eksekusi ekstrayudisial, penyerangan dan penyiksaan, penahanan yang tak manusiawi, pembakaran rumah dan kampung, penjarahan serta perusakan barang berharga dan makanan penduduk, serangan udara dan pengeboman secara terus-menerus, hingga penangkapan secara acak, massal, dan pemenjaraan.
Riset ini juga menemukan bahwa sebagian besar pihak yang bertanggung jawab di Belanda, seperti politikus, perwira militer, pegawai pemerintah, dan hakim pengadilan, sesungguhnya mengetahui kekerasan ekstrem tersebut, tapi mereka bersepakat untuk memaklumi, memberi pembenaran, menutupi, atau bahkan membiarkannya. Hampir di semua tingkatan ditemukan indikasi pengesampingan yang disengaja atas aturan yang berlaku dan atas rasa keadilan.
Menurut Asvi Warman Adam, Perdana Menteri Belanda begitu cepat menanggapi hasil penelitian tersebut sekaligus meminta maaf. Respons cepat itu mesti menjadi pembelajaran bagi pemerintah Indonesia terhadap berbagai dugaan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang dilakukan oleh negara.
Asvi mengatakan Belanda juga sudah mengakui beberapa peristiwa kekerasan militer mereka di Indonesia di masa lalu. Misalnya, pembantaian ratusan penduduk Rawagede, Karawang, Jawa Barat, pada Desember 1947 serta pembantaian puluhan ribu penduduk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat oleh pasukan khusus Belanda di bawah pimpinan Kapten Raymond Pierre Paul Westerling pada 1946-1947.
Sejarawan Asep Kambali juga mengapresiasi permintaan maaf pemerintah Belanda tersebut. Namun, kata dia, luka akibat serangan Negeri Kincir Angin itu di Indonesia akan tetap membekas. Sebab, mereka melakukan kejahatan perang yang berdampak luas terhadap bangsa Indonesia. “Luka sejarah sulit dihapus. Tapi permintaan maaf itu perlu diapresiasi,” ujarnya.
Asep berpendapat banyak pelanggaran hak asasi manusia terjadi di berbagai wilayah Indonesia selama periode agresi militer Belanda pada 1945-1949. Selama periode itu, kata dia, pemerintah Belanda merestui semua penyerangan yang dirancang secara terorganisasi dan sistematis untuk menguasai Indonesia. “Tidak bisa dihitung yang mereka lakukan karena sangat banyak korban jiwa dari penyerangan itu,” kata Asep.
Ia mengatakan catatan kelam ini seharusnya ditindaklanjuti dengan suatu perjanjian atau nota kesepahaman kedua pemerintah agar tak terulang. Selain itu, pemerintah Indonesia bisa meminta ganti rugi kepada Belanda yang telah menyerang Indonesia. Dasar pemintaan ganti rugi di antaranya pengakuan Belanda atas kekerasan militer mereka pada 1945-1949. “Ganti rugi bukan hanya dalam bentuk uang, tapi pemerintah bisa mendapat ganti rugi, seperti dengan program kerja sama antarkedua negara,” kata Asep. (TMP)