Berita Utama

Pasokan Minyak Goreng Sesuai HET Terbatas

JAKARTA — Kementerian Perdagangan menyatakan terbatasnya pasokan minyak goreng yang dijual sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) disebabkan oleh kendala di tahap distribusi dari produsen ke toko.

Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan, Veri Anggrijono, mengatakan tim dari Kementerian telah melakukan pengawasan untuk mengawal kelancaran distribusi tersebut.

Pengawasan ini, kata Veri, dilakukan bersama Satuan Tugas Pangan Nasional Polri. “Kami forsir di pengawasan distribusi. Kami jaga betul, sehingga dari produsen bisa lancar sampai ke masyarakat,” tuturnya, kemarin.

Selain memelototi alur distribusi minyak goreng, Kementerian Perdagangan menggelar operasi pasar. Dalam operasi pasar di Maros, Sulawesi Selatan, akhir pekan lalu, Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga, menyatakan pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan minyak goreng dengan menggandeng produsen minyak goreng, seperti Sinarmas dan Wilmar Group, serta Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia. “Kami akan terus memastikan keran distribusi tidak terganggu dan harga tetap terjangkau,” tuturnya dilansir Tempo, Senin (14/3/2022)

Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah mematok pasokan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) untuk pasar dalam negeri. Mulai 27 Januari 2022, Kementerian Perdagangan mematok DMO minyak sawit mentah untuk pertama kalinya. Kebijakan ini diambil lantaran para pengusaha memilih ekspor, sehingga produsen minyak goreng kesulitan produksi dan menyebabkan lonjakan harga minyak goreng.

Pemerintah mewajibkan eksportir membeli kelapa sawit dengan harga pasar dan menjualnya ke produsen minyak goreng dengan harga lebih rendah, sesuai dengan ketetapan pemerintah. Saat itu pemerintah mematok 20 persen CPO khusus untuk kebutuhan dalam negeri. Namun kondisi yang tak kunjung berubah membuat pemerintah menaikkan porsinya. Mulai 10 Maret 2022, DMO dipatok sebesar 30 persen dari volume ekspor CPO dan turunannya.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyatakan tambahan pasokan CPO diperlukan untuk menjamin pasokan minyak goreng di dalam negeri yang saat ini seret. “Kebijakan ini berlaku sampai keadaan kembali normal,” katanya saat mengumumkan aturan baru ini pada 9 Maret lalu.

Namun kebijakan itu dinilai memberatkan pelaku industri. Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia, Sahat Sinaga, menyatakan kebijakan DMO menyebabkan kerugian di industri hilir sawit, termasuk yang tidak berhubungan dengan minyak goreng. Dia mencontohkan industri oleokimia yang tidak terintegrasi dengan pabrik minyak goreng, kebun sawit, pengolahan CPO, maupun pabrik biodiesel. “Sekarang mereka lay-off pekerja,” tuturnya kepada Tempo, kemarin.

PT Sumi Asih merupakan salah satu perusahaan oleokimia yang tercatat menghentikan produksi karena tidak mampu memenuhi kewajiban DMO 20 persen. Direktur HRD and Legal PT Sumi Asih, Markus Susanto, menghitung perusahaan harus menanggung defisit sekitar Rp 6,3 miliar per bulan untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Dampaknya, sebanyak 350 karyawan pabrik yang beroperasi di Bekasi, Jawa Barat, ini harus dirumahkan.

Sahat menyatakan kerugian bisa meluas jika kebijakan ini dilanjutkan. Menurut dia, eksportir sawit pun sudah banyak menelan penalti sejak awal tahun. “Sekarang tidak ada eksportir Indonesia yang bisa menjalankan forward selling,” tuturnya. Perdagangan didominasi di pasar spot. Kondisi ini disebutnya sebagai kesempatan bagi negara tetangga untuk meraup keuntungan lebih besar.

Dia mengusulkan agar pemerintah menghentikan konsep DMO minyak sawit ini. Untuk menyediakan minyak goreng murah, Sahat menyarankan pemerintah menghapus kebijakan HET minyak goreng, lalu memberi subsidi langsung kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Dananya bisa diambil dari bea keluar ekspor sawit dan disalurkan lewat Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, Eddy Martono, menuturkan DMO sebesar 20 persen seharusnya sudah cukup untuk menyuplai kebutuhan produksi minyak goreng. Mengutip data Kementerian Perdagangan, dia mencatat pemerintah sudah mendistribusikan 415 ribu ton minyak goreng dari perkiraan konsumsi sekitar 327 ribu ton.

“Kalau masih ada masalah di distribusi, mestinya itu dulu yang diselesaikan sebelum mengambil kebijakan menaikkan DMO menjadi 30 persen,” ujarnya. Eddy menyatakan kebijakan ini ada kemungkinan masih bisa dijalankan eksportir besar yang memiliki integrasi bisnis. Namun perusahaan yang skalanya lebih kecil diperkirakan kesulitan bertahan karena terdapat potensi kerugian.

Kepala Pusat Riset Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef, Andry Satrio Nugroho, menyatakan pemerintah perlu mengevaluasi mekanisme DMO minyak sawit. Dia mengingatkan bahwa kelangkaan minyak goreng dipicu disparitas harga yang sangat lebar di pasar global dan domestik. Jika DMO ditingkatkan, harga minyak sawit berpotensi semakin melambung di pasar internasional.

Selain mempengaruhi di hilir, industri hulu sawit diperkirakan terkena dampak. “Saya menduga produsen CPO akhirnya ada yang menjual rugi (untuk memenuhi kebutuhan produksi minyak goreng). Atau malah petani yang dipaksa menurunkan harga tandan buah segar agar harga jual CPO lebih murah,” kata Andry. (TMP)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.