Berita Utama

Pembahasan Pemekaran PBD Dikhawatirkan Kilat

JAKARTA – Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Provinsi Papua Barat Daya (RUU PBD) dikhawatirkan berlangsung secara kilat seperti pembahasan RUU tiga daerah otonom baru di Papua yang disahkan pekan lalu. Proses pembahasan yang tidak komprehensif cenderung mengabaikan partisipasi bermakna sehingga pengambilan keputusan tidak didasarkan pada pertimbangan yang matang.

Manajer Advokasi Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Muhammad Busyrol Fuad mengatakan, proses pembahasan tiga RUU yang hanya berlangsung selama sembilan hari kemungkinan kembali terulang karena RUU ini merupakan satu paket dengan tiga RUU tentang Provinsi Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Pegunungan.

”Ini kebijakan satu paket. Jadi saya melihat dalam konteks arah politik hukumnya yang lebih berorientasi modal ketimbang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat Papua,” ujarnya di Jakarta, Jumat (8/7/2022).

Sebelumnya, pembahasan tiga RUU Pemekaran Papua di Dewan Perwakilan Rakyat tuntas dalam waktu sembilan hari. Pembahasan RUU diawali pada Selasa (21/6/2022) dan mendapat persetujuan tingkat pertama pada Selasa (28/6/2022). Ketiga RUU tersebut kemudian disahkan pada Rapat Paripurna DPR, Kamis (30/6/2022).

Sepekan berselang, DPR menyepakati RUU Provinsi Papua Barat menjadi RUU inisiatif DPR. Secara prosedur, DPR kemudian menyerahkan draf RUU ke Presiden untuk kemudian dibalas dengan surat presiden disertai dengan daftar inventarisasi masalah. DPR dan pemerintah selanjutnya membahas RUU tersebut.

Fuad menilai, karakter legislasi dalam pembahasan RUU tentang pemekaran di Papua terkesan ugal-ugalan dan tergesa-gesa. Proses pembentukan UU seperti itu dipastikan menihilkan partisipasi yang bermakna yang pernah menjadi perintah MK ke pembuat UU. Pembahasannya pun terkesan eksklusif, tidak transparan, dan tidak didasarkan atas pertimbangan yang matang.

Jika pembahasannya terus berlangsung demikian, rakyat pun akan terus berspekulasi adanya kepentingan segelintir elite politik dan ekonomi di pemekaran Papua. Sebab, pembahasannya tidak mengutamakan kepentingan masyarakat, terutama orang asli Papua yang akan terdampak dari UU tersebut. Apalagi, pembahasannya masih mendapatkan penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat Papua yang sebagian dipinggirkan dalam proses pembetukan UU.

”Jika disahkan melalui proses yang sama dengan tiga DOB sebelumnya, hanya akan menambah daftar panjang legislasi bermasalah. Kebijakan tersebut menjadi satu prakondisi bagi pelanggaran-pelanggaran HAM serius di masa depan yang juga berdampak pada hak-hak masyarakat adat,” kata Fuad.

Perlu pembahasan komprehensif

Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, pembahasan yang komprehensif diperlukan karena ada beberapa hal yang sebaiknya diatur dalam UU, bukan di peraturan turunan karena mudah diubah. Beberapa di antaranya ialah mendetailkan prosedur pengangkatan penjabat kepala daerah di provinsi pemekaran. Sebab, tugas pemerintahan di awal sangat kompleks, di antaranya mempersiapkan penyelenggaraan pemerintah daerah beserta perangkat daerah, pembentukan Majelis Rakyat Papua, serta mempersiapkan pemilu dan pilkada serentak 2024.

”Kalau tidak disiapkan betul dan tidak ada aturan yang jelas, akan menimbulkan banyak masalah,” katanya.

Selain itu, DPR sebagai inisiator RUU seharusnya memiliki kajian teknis soal kesiapan DOB. Pembentukan DOB harus benar-benar didasarkan pada kebutuhan agar implementasinya tidak mengalami permasalahan. Mesti ada indikator untuk memutuskan ada kebutuhan untuk pemekaran berikut indikator keberhasilan atas kebijakan pemekaran tersebut. Permasalahan lain seperti penentuan ibu kota Papua Tengah pun harus bisa dicegah agar tidak menimbulkan konflik horizontal.

”Pembahasan seharusnya bisa lebih lama karena tidak dikejar tenggat pemberian dana transfer daerah. Tetapi, mengacu pada apa yang terjadi pada tiga DOB sebelumnya, saya pesimistis problem tersebut akan diakomodasi karena naskah RUU Papua Barat Daya pasti mirip dengan tiga DOB lainnya,” tutur Arya.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid khawatir proses pembahasan pemekaran Papua Barat minim partisipasi publik dan menyalahi semangat otonomi khusus. Minim partisipasi publik karena pemekaran Papua dalam semangat otsus seharusnya atas persetujuan MRP. Suara MRP seharusnya bulat karena mereka merupakan representasi kultural OAP, di samping persetujuan DPR Papua sebagai representasi politik orang di Papua.

”Gelombang pemekaran Papua kali ini adalah kebijakan yang problematik karena tidak didasarkan pada kajian yang komprehensif. Padahal, ini diperlukan karena ketentuan tentang pemekaran Papua dilakukan dengan memperhatikan kesatuan sosial budaya, kesiapan SDM, perkembangan ekonomi, dan dinamika di masa depan. Empat hal ini seharusnya ada kajiannya,” ujar Usman. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.