Pembentukan Tiga DOB di Papua Abaikan Persyaratan
JAKARTA – Direktur Eksekutif Komite Pemantauan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman mengatakan, pembentukan tiga DOB di Papua tidak menggunakan berbagai syarat sesuai UU Pemda.
Menurutnya hal itu menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam kebijakan pemekaran dan penggabungan daerah. Padahal persyaratan untuk pemekaran diatur dalam UU Pemda dan dibuat untuk memastikan DOB bisa berhasil.
”Tantangan yang dihadapi oleh tiga DOB di Papua menjadi lebih berat karena daerahnya tidak dipersiapkan terlebih dahulu,” ucapnya.
Herman mencontohkan, pembentukan daerah persiapan provinsi selama tiga tahun diperlukan untuk mempersiapkan segala kebutuhan provinsi baru hingga akhirnya benar-benar siap. Dalam fase ini, ada peran dari provinsi induk untuk menyiapkan DOB definitif, mulai dari penyiapan sumber daya manusia hingga penganggaran. Namun, dalam tiga DOB di Papua, ketiganya langsung menjadi provinsi definitif begitu UU diundangkan.
Hal ini akhirnya berimplikasi pada tata kelola pembangunan daerah yang membutuhkan kerja cepat dari penjabat gubernur. Penjabat itu mesti bergerak cepat, di antaranya melakukan perencanaan, penganggaran, pembentukan kelembagaan, dan pembuatan kebijakan serta menyiapkan pelayanan publik secepatnya. Terutama adalah penyiapan aparatur pemerintahan yang akan menjalankan tugas-tugas pelayanan publik.
”Tiga DOB di Papua ini langsung definitif, artinya harus sudah melakukan beberapa kegiatan itu, yang jika menganut UU Pemda, tugas itu bisa dilaksanakan pada tahapan daerah persiapan,” katanya.
Selain itu, penjabat gubernur harus segera membentuk perangkat daerah untuk mengeksekusi program dan anggaran. Sebab, tiga provinsi baru di Papua langsung mendapatkan dana transfer dari pemerintah pusat, sama seperti provinsi induk ataupun provinsi-provinsi lain. Kondisi ini pun dinilai lebih sulit dibandingkan jika melalui proses daerah persiapan karena membutuhkan perangkat daerah yang bisa langsung mengeksekusi anggaran.
KPPOD, lanjut Herman, mencatat ada 223 DOB sepanjang 1999 hingga 2014. Evaluasi dari beberapa institusi terhadap DOB menunjukkan, mayoritas kurang berkembang baik. Padahal, semua DOB tersebut dibuat dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan prasyarat yang diatur pemerintah agar berkembang menjadi daerah yang berhasil.
Evaluasi Bappenas pada 2007, misalnya, sebanyak 80 persen DOB dinilai gagal. Sementara catatan dari Kemendagri pada 2014 terhadap DOB yang dibentuk dalam kurun waktu 2011-2014 masih menunjukkan nilai kurang. Skor Indeks Pembangunan Manusia Papua Barat dan Papua berada di urutan terbawah, bahkan nilainya berada di bawah rata-rata nasional. Padahal, Papua Barat menjadi DOB yang dimekarkan dari Papua pada 1999 dan definitif pada 2003. Sementara dalam pelayanan publik, merujuk standar kepatuhan pelayanan publik yang dikeluarkan Ombudsman RI pada 2021, kedua provinsi di Papua masih berada dalam kepatuhan sedang.
”Indikator ini menunjukkan bahwa pemekaran yang seharusnya bisa meningkatkan pelayanan publik ternyata belum berhasil. Perlu evaluasi sistematis terhadap semua DOB, tidak hanya di Papua,” kata Herman.
Oleh sebab itu, lanjutnya, mengingat tantangan yang dihadapi oleh tiga DOB di Papua cenderung lebih berat dibandingkan DOB lain, diperlukan pengawasan dan pembinaan dari Kemendagri terhadap ketiga DOB di Papua tersebut. Jangan sampai tiga provinsi baru di Papua tidak berdampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat. Kehadiran provinsi baru tersebut harus mampu menyelesaikan masalah-masalah pemerataan pembangunan serta konflik di Papua.
”Meskipun dasar pembentukannya menggunakan UU yang khusus, kerangka pengawasan dan pembinaan seharusnya tetap berlaku sama dengan daerah lain,” kata Herman. (KOM)