Pembiayaan Energi Bersih Masih Rendah
JAKARTA – Kencangnya kampanye transisi energi dari sumber energi fosil ke energi baru terbarukan yang digaungkan pemerintah dinilai belum sebanding dengan laju pendanaannya. Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, mengatakan minat perbankan ataupun lembaga penyandang dana investasi terhadap proyek energi bersih masih rendah.
Padahal pemerintah sedang giat mengejar peningkatan porsi energi baru terbarukan hingga 23 persen dalam bauran energi nasional pada 2025 serta 34 persen pada 2030. “Lembaga keuangan masih resistan. Dari kacamata mereka, ada pertimbangan risiko yang masih cukup besar (dari sektor energi terbarukan),” ujar Abra dilansir Tempo, Jumat (8/7/2023).
Menurut Abra, suplai kelistrikan di Indonesia terlalu ditopang pembangkit listrik bertenaga fosil, terutama pembangkit listrik tenaga uap. Melimpahnya kapasitas pembangkit energi konvensional itu membuat penyerapan energi terbarukan masih minim. Kondisi ini otomatis mendongkrak risiko pengembalian dana investasi dari sektor energi ramah lingkungan.
“PLN juga tak akan mudah mendapat sumber pendanaan untuk energi terbarukan. Risiko yang besar otomatis akan dikompensasi menjadi cost of fund (biaya dana) yang mahal pula,” ujarnya.
Abra, yang juga menjabat Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Indef, pesimistis terhadap berbagai komitmen pembiayaan energi yang dibanggakan pemerintah setelah Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada November 2022. Agenda global itu sebelumnya melahirkan Just Energy Transition Partnership (JETP) sebagai sumber pendanaan transisi energi Indonesia.
Kala itu, dari negara-negara International Partners’ Group (IPG), termasuk Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan Prancis, muncul potensi kucuran dana hingga US$ 20 miliar atau lebih dari Rp 311 triliun untuk mendanai proyek energi terbarukan. Dana itu rencananya terbagi menjadi dua jenis. Sebanyak US$ 10 miliar berupa pinjaman lunak dan hibah.
Adapun US$ 10 miliar lainnya mengalir dari Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ)—aliansi global bank, manajer aset, pemilik aset, perusahaan asuransi, dan perusahaan jasa finansial lain. Skema pendanaan hijau itu sempat dianggap sebagai kabar baik untuk 2023. “Namun sampai hari ini belum terlihat realisasinya. Harus diusut apa kendala penyalurannya,” kata Abra.
Peneliti dari Senik Centre Asia, Andri Prasetiyo, juga menganggap klaim penyaluran porsi energi terbarukan dari perbankan nasional tak mewakili kemajuan pembiayaan hijau. Dia menilai porsi portofolio perbankan untuk proyek ramah lingkungan masih sangat sedikit. “Mau besar atau kecil, sebenarnya tidak berpengaruh. Yang terpenting adalah reorientasi pinjaman ke sektor yang memang hijau.”
Klaim Perbankan
Sejumlah bank jumbo sudah bergiliran mengklaim keterlibatan dalam pengembangan energi terbarukan. Pada Januari 2023, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyatakan sudah menyalurkan pembiayaan berkelanjutan sesuai dengan Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KKUB) hingga Rp 228,8 triliun sepanjang 2022. Dari jumlah tersebut, dana untuk sektor energi terbarukan sebesar Rp 6,1 triliun. Ada juga porsi untuk transportasi ramah lingkungan sebesar Rp 3,1 triliun.
Pada Maret lalu, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI juga menyatakan portofolio untuk ekonomi berkelanjutan sebesar 28,5 persen dari total portofolio kredit BNI. Adapun nilai portofolio BNI untuk energi terbarukan sebesar Rp 10,9 triliun.
Executive Vice President Corporate Communication and Social Responsibility PT Bank Central Asia Tbk atau BCA, Hera F. Haryn, juga memastikan entitasnya sudah menyalurkan kredit sebesar Rp 180,8 triliun ke sektor-sektor berkelanjutan pada kuartal pertama 2023. Jumlah itu naik 11,9 persen dibanding penyaluran periode yang serupa pada tahun lalu. Dana itu terpakai untuk beberapa proyek energi terbarukan, seperti surya, air, minihidro, biomassa, dan biogas. “Pembiayaan tersebut berkontribusi 25 persen terhadap total portofolio pembiayaan BCA,” tutur dia, Mei lalu.
Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, Aestika Oryza Gunarto, menyebutkan manajemennya selalu memperbesar porsi pembiayaan pada EBT. “Sebagai komitmen untuk mewujudkan perbankan berkelanjutan,” ucapnya, kemarin. Hingga Maret 2023, kata dia, BRI telah memberikan pembiayaan kepada bisnis berwawasan lingkungan, sosial, dan tata kelola hingga Rp 710,9 triliun atau setara dengan 66,7 persen dari total pinjaman perusahaan. Jumlah itu meningkat 11,1 persen dibanding periode yang sama pada 2022.
Klaim pendanaan energi terbarukan itu dianggap semu oleh Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara. Menurut dia, setelah mengolah data Bank Indonesia, total pembiayaan bank di sektor tambang—baik dalam bentuk kredit investasi maupun modal kerja—masih menembus Rp 200 triliun sepanjang Maret 2023.
Bahkan, pada Oktober 2022, pendanaan untuk sektor itu tumbuh sampai 99 persen secara tahunan akibat lonjakan harga batu bara. Angka itu bahkan belum termasuk penyaluran kredit ke sektor pembangkit listrik bertenaga batu bara. “Sebaliknya, pertumbuhan (pendanaan) pembangkit energi terbarukan jalan di tempat karena terlihat baurannya pada triwulan III 2022 turun ke 10,4 persen dari tahun sebelumnya sebesar 11,5 persen,” Bhima menuturkan. (TEM)