Berita Utama

Pemekaran Berlanjut meski Efektivitas Diragukan

JAKARTA – DPR berencana menggelar rapat paripurna dengan agenda persetujuan pengesahan Rancangan Undang-Undang Provinsi Papua Barat Daya, Kamis (17/11/2022). Papua Barat Daya akan menjadi provinsi baru keempat di Papua setelah, akhir Juli, pembentukan Provinsi Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Selatan disahkan Presiden Joko Widodo.

Rencana persetujuan pengesahan RUU Papua Barat Daya dalam rapat paripurna itu disampaikan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (16/11/2022). Menurut dia, agenda tersebut telah disetujui dalam rapat pimpinan DPR dan Badan Musyawarah DPR yang digelar kemarin.

”Dengan demikian, apa yang sudah ditunggu-tunggu oleh masyarakat Papua, besok (hari ini, red), akan direalisasikan oleh DPR,” ucapnya.

RUU Papua Barat Daya sudah disetujui untuk disahkan di tingkat pertama antara Komisi II DPR dan pemerintah pada pertengahan September. Pembahasan RUU ini terbilang singkat atau tak lebih dari satu bulan. Setelah RUU itu disetujui di tingkat kedua atau di Rapat Paripurna DPR, Kamis (17/9/2022), RUU akan diserahkan kepada Presiden untuk kemudian disahkan.

Peneliti pada Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Mardyanto Wahyu Tryatmoko, melihat pemekaran Papua dan Papua Barat menjadi empat provinsi baru semata agenda pemerintah pusat. Agenda itu disebutnya didukung oleh elite lokal Papua yang mengejar kursi kekuasaan setelah provinsi baru terbentuk. Namun, di level akar rumput, kebijakan pemekaran itu dinilai kurang memadai legitimasinya.

”Ini adalah strategi pendekatan keamanan dari pemerintah pusat yang kemudian disambut baik oleh mereka yang ingin menduduki jabatan strategis di level lokal. Padahal, pilihan kebijakan itu belum teruji efektivitasnya,” ujarnya.

Sebelum pemekaran empat provinsi baru itu, lanjutnya, pemekaran daerah-daerah di Papua belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Target kesejahteraan dan percepatan pembangunan masyarakat Papua yang ingin dicapai melalui pemekaran tak terlihat tercapai.

Angka bebas buta huruf masih rendah jika dibandingkan dengan daerah lain. Kabupaten baru hasil pemekaran, ketergantungan fiskalnya terhadap anggaran dari pusat pun masih tinggi dengan kontribusi fiskal dari daerah-daerah pemekaran itu hanya 0,3 persen-0,5 persen.

Provinsi Papua Barat yang dimekarkan dari Papua pada 1999 dan menjadi provinsi definitif pada 2003 juga belum menunjukkan perkembangan berarti hingga kini. Skor Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua Barat bersama Papua berada di urutan terbawah dari provinsi-provinsi lainnya, bahkan nilainya berada di bawah rata-rata nasional.

Di tengah belum terbuktinya keberhasilan dari pemekaran, penambahan empat provinsi baru bisa menimbulkan problem baru. Salah satunya soal pemenuhan aparatur sipil negara (ASN) untuk mengisi birokrasi di keempat provinsi tersebut. Apalagi, dalam pengisian ASN, sebanyak 80 persennya harus orang asli Papua.

”Tidak mudah memenuhi kebutuhan pegawai itu. Pegawai di provinsi induk, kabupaten/kota pun tidak memenuhi untuk penyediaan ASN dalam skema untuk daerah-daerah baru,” katanya.

Adapun menyangkut legitimasi pemekaran Papua yang kurang memadai di level masyarakat dinilainya karena pandangan pemerintah untuk menyelesaikan masalah di Papua berbeda dengan harapan publik. Sebelum bicara masalah pembangunan dan peningkatan kesejahteraan, masyarakat Papua perlu dipulihkan harga dirinya akibat konflik bersenjata berkepanjangan. Perdamaian atas konflik menurut dia lebih prioritas agar masyarakat Papua percaya pada pemerintah.

”Kalau tidak ada perdamaian, masih ada konflik, bagaimana kemudian akan melakukan pembangunan? Karena pasti akan ada yang mengganggu dan merongrong,” ucapnya.

Pemerintah pusat juga sudah beberapa kali membuat program percepatan pembanguan Papua. Mulai dari tahun 2006, 2011, hingga terakhir pada 2019. Kebijakan pembangunan itu terbukti belum menjadi obat manjur atas problem konflik bersenjata di Papua. Aksi kelompok kriminal bersenjata di Papua justru semakin kuat dan muncul teror-teror yang semakin mencekam di masyarakat. Ini karena harapan dan keinginan mereka tidak tercapai selama ini.

”Tanpa upaya penyelesaian konflik di Papua secara komprehensif, dialog dengan kelompok yang menginginkan kemerdekaan, saya yakin program (pemekaran) ini hanya akan menjadi business as usual. Janji dan komitmen di awal sulit dikawal dengan baik dan terkadang lepas karena besarnya tantangan di lapangan,” katanya.

Terkait dengan beban pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat terhadap empat DOB di Papua, Mardyanto mengingatkan bahwa beban pemerintah pusat tidak hanya mendampingi DOB Papua semata. Daerah lain masih banyak yang harus dibina dan diperhatikan. Dengan bertambahnya DOB di Papua Barat Daya tentu akan menambah beban pemerintah pusat. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *