Pemerintah dan DPR Merampungkan Pembentukan DOB di Papua
JAKARTA – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mulai menjajaki sejumlah tahapan akhir rencana pembentukan daerah otonomi baru atau pemekaran wilayah di Papua. Setelah revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua disahkan pada Juli tahun lalu yang menyebutkan sejumlah aturan pemekaran, pemerintah menargetkan proses penambahan provinsi selesai tahun ini.
Ketua Komisi Pemerintahan DPR, Supratman Andi Agtas, mengatakan pemekaran ini menjadi amanat undang-undang tersebut. Pembentukan daerah otonomi baru Papua diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Saat ini, proses pemekaran dalam tahap sosialisasi kepada sejumlah kabupaten dan kota yang bakal menjadi setidaknya tiga provinsi baru di Papua. “Kami juga sudah menampung aspirasi banyak lembaga dan masyarakat,” ujar Supratman dirilis Tempo, Sabtu (12/3/2022).
Pada akhir pekan lalu, Supratman berkunjung ke Kabupaten Jayawijaya untuk mendengarkan aspirasi itu. Ia bertemu dengan sejumlah anggota DPR kabupaten. Di luar gedung Dewan, massa berkumpul menyuarakan penolakan terhadap rencana pemekaran Papua. “Kami menampung suara-suara penolakan ini, tapi pemekaran sudah menjadi amanat undang-undang,” kata Supratman.
Alasan pemekaran di Papua, menurut pemerintah, adalah mengatasi ketimpangan pembangunan. Luas wilayah Papua yang tiga kali lebih besar daripada Jawa dianggap tak sesuai dengan pemerintahan daerah yang saat ini hanya dikendalikan dua provinsi. Pemerintah berencana menjadikan setidaknya lima provinsi baru. Proses itu, menurut Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, beberapa waktu lalu, ditargetkan selesai pada tahun ini.
Adapun para penolak pemekaran ini, yang terdiri atas kelompok pembela hak asasi manusia dan kelompok advokasi untuk orang asli Papua, menyebutkan bahwa prosesnya tak transparan. Pemekaran di Papua juga dianggap menambah beban birokrasi serta memperparah konflik horizontal.
Ketua Majelis Rakyat Papua, organisasi yang mewakili kelompok adat di Papua, Timotius Murib, menilai bahwa pemekaran hanya ambisi pemerintah pusat untuk menambah pengaruh mereka di tanah Papua.
Wacana pemekaran Provinsi Papua ini pertama kali diungkapkan Istana Negara pada September 2019. Saat itu, Presiden Joko Widodo menerima 61 tokoh Papua. Dalam pertemuan tersebut, sekelompok orang itu mengungkapkan bahwa mereka meminta pemekaran wilayah kepada Presiden. Beberapa alasan yang mereka ungkapkan, misalnya, mengenai perbedaan kultural di sejumlah kabupaten serta perlunya mendekatkan orang Papua dengan birokrasi untuk memudahkan urusan sipil.
Permintaan itu ditindaklanjuti Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Ia mengumumkan bahwa akan ada potensi pemekaran wilayah. Setelah proses panjang dengan DPR, pada Juli 2021, pemerintah dan DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Salah satu poin revisi adalah pemekaran. Pemerintah dan DPR dapat melakukan pemekaran provinsi tersebut tanpa melalui tahapan daerah persiapan. Artinya, pemekaran dilakukan tanpa ada provinsi percobaan lebih dulu. Jika gagal dan tak berkembang sesuai dengan harapan, daerah baru bisa dibatalkan dan dikembalikan ke induknya. Ini bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintah Daerah.
Anggota DPR dari PDI Perjuangan dari Papua, Komaruddin Watubun, mengatakan bahwa hal ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan dan aspirasi masyarakat Papua serta memberikan jaminan dan ruang kepada orang Papua dalam aktivitas politik, pemerintahan, perekonomian, serta sosial-budaya. “Karena kita ingin akses ini berlangsung cepat,” kata Komaruddin.
Hal inilah yang menyebabkan penolakan. Majelis Rakyat Papua menyebutkan akan mengajukan uji materi hasil revisi Undang-Undang Otonomi Khusus. Uji materi ini didukung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan lembaga advokasi HAM, Amnesty International Indonesia.
Sabtu akhir pekan lalu, Komnas HAM menerima kunjungan kedua lembaga ini untuk menerima aspirasi dan mendengar rencana uji materi. Di lokasi lain dilaporkan bahwa aksi demo ratusan orang di dekat Istana Negara untuk menyuarakan penolakan berlangsung ricuh. Di berbagai lokasi di Papua, demo penolakan juga terjadi sejak pekan lalu.
Deputi V Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, menyatakan bahwa pemekaran bakal tetap berlangsung meski ada penolakan. Sebab, kata dia, pelayanan publik hanya terpusat di ibu kota provinsi, sehingga perlu adanya distribusi pelayanan ke berbagai penjuru Papua. “Kebijakan daerah otonomi baru ini adalah berdasarkan aspirasi,” kata Jaleswari. “Silakan menyalurkan aspirasi karena ini adalah negara demokrasi.” (TMP)