Pemerintah Diminta Batalkan Pemekaran Papua
JAKARTA – Berbagai elemen masyarakat di Papua tetap mendesak pemerintah membatalkan pemekaran Provinsi Papua. Ketua LBH Papua, Emanuel Gobay, mengatakan perumusan tiga rancangan undang-undang otonomi baru yang berisi pemekaran Papua mengabaikan aspirasi masyarakat sehingga rencana pemekaran itu mesti dibatalkan.
“Kami meminta rencana itu dibatalkan,” kata Emanuel dilansir Tempo, Selasa (19/4/2022).
Emanuel berpendapat, perumusan tiga RUU otonomi baru di Papua yang saat ini digodok Dewan Perwakilan Rakyat hanya berdasarkan inisiatif anggota Dewan. Penyusunan ketiga RUU tersebut juga tak disertai koordinasi dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Dewan Pertimbangan Rakyat Papua (DPRP) lebih dulu.
Pada 12 April lalu, rapat paripurna DPR menyetujui RUU Pembentukan Papua Selatan, RUU Pembentukan Papua Tengah, dan RUU Pembentukan Papua Pegunungan Tengah. Ketiga RUU ini membagi Papua menjadi empat provinsi baru, termasuk provinsi induk.
Sejak DPR membahas RUU itu, berbagai elemen masyarakat di sejumlah daerah di Papua, seperti Jayapura, Wamena, Paniai, Yahukimo, dan Nabire, menggelar demonstrasi penolakan pemekaran tersebut, Maret lalu. Awal April lalu, unjuk rasa penolakan pemekaran melebar ke daerah lain, seperti Mimika, Sorong, dan Kaimana. Warga Papua di Malang, Denpasar, dan Yogyakarta juga menggelar demonstrasi serupa.
Mereka juga mendesak kepolisian tidak bertindak represif dalam mengamankan demonstrasi tersebut. Sebab, dalam serangkaian demonstrasi sebelumnya, polisi menangkap sejumlah pengunjuk rasa. Lalu dua orang demonstran di Yahukimo meninggal akibat tertembak pada 15 Maret lalu.
“Kami menyayangkan sikap represif aparat keamanan,” kata Emanuel. Ia berharap pemerintah pusat dan DPR mendengarkan aspirasi warga Papua.
Akademikus dari Universitas Papua, Agus Irianto Sumule, mengatakan sebagian besar masyarakat Papua belum siap dengan pemekaran. Sehingga, jika pemerintah pusat memaksakan pemekaran Papua, justru berpotensi menimbulkan banyak persoalan baru.
“Terutama pada orang asli Papua, mereka akan semakin terpinggirkan,” kata Agus.
Agus mengakui keberadaan provinsi baru memang akan membuka banyak jabatan baru. Tapi menjadi masalah karena masih sedikit orang asli Papua yang memiliki tingkat pendidikan yang memadai. Ia khawatir jabatan baru tersebut justru diisi oleh pendatang dari luar Papua.
“Pemekaran berpotensi memicu meningkatnya arus migrasi ke Papua. Akibatnya, orang asli Papua semakin terpinggirkan. Ini akan menimbulkan gejolak dan konflik baru,” kata Agus.
Ia menyarankan pemerintah lebih berkonsentrasi memperbaiki tata kelola pelayanan masyarakat di Papua daripada memaksakan pemekaran provinsi. “Perbaiki pelayanan publik dan pendidikan, terutama bagi orang asli Papua, supaya kesenjangan ekonomi dan pendidikan bisa ditekan,” ujar Agus.
Majelis Rakyat Papua dan Amnesty International Indonesia sudah menyampaikan penolakan pemekaran Papua ini kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md., Jumat pekan lalu. Di samping itu, MRP juga mengajukan uji materi UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Otonomi Khusus Provinsi Papua ke Mahkamah Konstitusi. Undang-undang ini menjadi pijakan pemekaran Papua.
Wakil Ketua MRP Yoel Luiz Mulait mengatakan lembaganya telah menerima aspirasi masyarakat orang asli Papua yang menolak pembentukan daerah otonom baru (DOB) karena menggunakan pendekatan sentralistik. Pendekatan sentralistik yang dimaksudkan Yoel mengacu pada Pasal 76 UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua.
Dalam Pasal 76 ayat 1 undang-undang ini terdapat aturan bahwa setiap pembentukan daerah otonomi baru di Papua mesti mendapat persetujuan MRP dan DPRP. “MRP menyayangkan langkah Komisi II yang terburu-buru mendorong pemekaran wilayah Papua. Badan Legislasi DPR secara cepat menyetujui tiga RUU DOB pada 6 April 2022,” kata Yoel.
Mahfud mengakui telah menerima aspirasi penolakan pemekaran Papua dari MRP dan Amnesty International Indonesia. Namun Mahfud berdalih bahwa jumlah masyarakat yang mendukung pemekaran jauh lebih banyak.
“Bahkan banyak orang yang menyiapkan panitia deklarasi,“ kata Mahfud. Ia menegaskan bahwa proses pemekaran Papua tetap berjalan tanpa perlu menunggu putusan Mahkamah Konstitusi. (TMP/REP/PB1)