Pemerintah Perlu Evaluasi Kebijakan Sentralistik untuk Papua
JAKARTA – Pemerintah perlu segera mengevaluasi pendekatan penanganan permasalahan di Papua. Selain mengurangi pengerahan aparat keamanan, evaluasi juga perlu dilakukan dengan mengoreksi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua serta kebijakan pemekaran daerah. Dengan evaluasi kebijakan yang dinilai sentralistik itu diharapkan eskalasi konflik di Papua dapat diredam.
Sepanjang tahun 2022 setidaknya sudah 45 kali serangan kelompok kriminal bersenjata (KKB) terjadi di Papua. Terakhir, 11 orang tewas dan dua orang lainnya terluka akibat serangan KKB pimpinan Egianus Kogoya, di Kampung Nogolait, Distrik Kenyam, Kabupaten Nduga, Papua, Sabtu (16/7/2022).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam diskusi bertajuk ”Eskalasi Papua, Daerah Otonom Baru, dan Putusan Mahkamah Konstitusi”, Selasa (19/7/2022), mengatakan, eskalasi konflik di Papua memang semakin tinggi. Baik konflik legislasi, konflik kebijakan, maupun konflik senjata.
Di tataran legislasi dan kebijakan, misalnya, Majelis Rakyat Papua (MRP) dan pemerintah pusat berada di posisi berseberangan terkait pemekaran wilayah. MRP menempuh jalan konstitusional dengan mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Bagi Provinsi Papua. Namun, pemerintah justru terus memekarkan wilayah Papua, bahkan menelurkan kebijakan lanjutan dengan mendirikan badan khusus otsus Papua di bawah wakil presiden.
”Kami khawatir bahwa konflik legislasi, konflik kebijakan, dan konflik senjata di tingkat bawah ini adalah suatu yang saling berhubungan,” ujar Usman.
Diskusi yang digelar oleh Koalisi Kemanusiaan Papua itu juga dihadiri secara daring oleh anggota tim hukum dan advokasi untuk keadilan, demokrasi, dan HAM di Tanah Papua, Saor Siagian; Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Daniel Ronda; dan dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Feri Amsari.
Usman menambahkan, pemerintah pusat perlu mengevaluasi pendekatan kebijakan di Papua. Kebijakan yang bersifat sentralistik perlu dikoreksi, salah satunya terkait pola pengambilan keputusan pemekaran wilayah di Papua. Untuk diketahui, dengan berlakunya UU Otsus yang baru, pemerintah pusat kini bisa memekarkan wilayah Papua tanpa harus konsultasi dengan MRP.
Selain itu, pendekatan keamanan di Papua juga perlu dievaluasi. Dalam artian, pengerahan aparat keamanan di wilayah Papua harus dikurangi secara signifikan. Apalagi, Usman juga melihat, proses penegakan hukum di Papua selama ini tidak berjalan efektif dan tidak tuntas, mulai dari penyelidikan hingga pengadilan terhadap pelaku-pelaku kekerasan dan pembunuhan di Papua.
”Kalau ini dilakukan oleh pemerintah pusat, sangat bisa meredam konflik senjata di tingkat bawah. Dan, tentu saja, juga akan menguntungkan pemerintah sendiri, misalnya untuk melanjutkan agenda pembangunan dan agenda-agenda kesejahteraan. Tetapi, keseluruhan kebijakan itu juga perlu diorientasikan pada penjajakan perundingan damai. Perundingan damai adalah satu-satunya jalan untuk saat ini dalam meredam eskalasi konflik yang berkepanjangan,” tutur Usman.
Menurut Usman, tidak ada jalan lain untuk meredam eskalasi konflik bersenjata saat ini kecuali dengan mengoreksi kebijakan pemekaran wilayah Papua, mengoreksi UU Otsus, dan mengoreksi pendekatan keamanan yang selama ini tidak terbukti dapat menghentikan atau menyelesaikan konflik bersenjata.
Peluang itu sebenarnya sudah terlihat ketika Presiden Joko Widodo; Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD; Panglima TNI Andika Perkasa; dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Dudung Abdurachman mulai memunculkan pernyataan bahwa penyelesaian Papua harus dengan cara yang damai dan humanis. Namun, sayangnya, pernyataan-pernyataan ini belum dituangkan dalam kebijakan.
”Karena itu, perlu diformulasi ke dalam kebijakan sehingga dapat menghasilkan perubahan yang signifikan di dalam konteks perdamaian Papua. Saya percaya kalau inisiatif utama itu ditempuh, bukan mustahil ada peluangnya,” kata Usman.
Feri Amsari sependapat dengan Usman. Tidak adanya partisipasi bermakna dalam pembentukan daerah otonom baru ini tentu menjadi salah satu faktor yang menyebabkan gejolak politik di Papua kian memanas. Padahal, konsep partisipasi publik itu sudah ditegaskan oleh MK dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang uji formil UU Cipta Kerja.
”MRP justru tidak diikutsertakan dalam pembentukan DOB. Di titik itu berarti keistimewaan Papua hanyalah topeng saja unutk pembenaran kebijakan-kebijakan pemerintah pusat,” ujar Feri.
Tak hanya itu, Feri pun melihat, dalam penentuan penjabat gubernur, aspirasi dari pemerintah daerah dan masyarakat daerah tidak didengar. Ini menimbulkan kesan bahwa penentuan penjabat hanya sebagai upaya pemerintah pusat untuk mencoba mengendalikan berbagai kepentingan pusat di daerah Papua. (KOM)