Penanganan Gagal Ginjal Dinyatakan Tuntas

JAKARTA – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan penyakit gagal ginjal akut pada anak telah selesai diatasi. Jumlah kasus terus menurun setelah pemerintah menghentikan sementara penggunaan obat sirop sejak 18 Oktober lalu. Pemberian obat penawar Fomepizole kepada penderita dinilai efektif memulihkan kesehatan pasien. “Sejak kami hentikan obat-obatan tersebut, jumlah kasusnya turun drastis,” kata Budi, kemarin. “Situasi rumah sakit sudah turun terus untuk yang dirawat karena ginjal akut.”

Budi mengatakan, berdasarkan hasil investigasi bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta organisasi profesi, telah terbukti bahwa obat-obatan sirop yang mengandung cemaran etilena glikol (EG) dan dietilena glikol (DEG) adalah penyebab gangguan ginjal akut. “Jadi, kita sudah out room bahwa memang obat-obatan itu adalah penyebab terjadinya gagal ginjal akut. Begitu kita stop, enggak ada kasus baru.”

Hingga18 November, tercatat 324 kasus gangguan ginjal akut di Indonesia. Sebanyak 200 pasien meninggal dan 111 lainnya sembuh. Adapun pasien yang masih menjalani perawatan sebanyak 13 anak. “Kematian masih ada satu, tapi itu pasien lama yang sudah 35 hari di rumah sakit,” kata Budi.

Keluarga Pasien Menggugat

Dua belas keluarga dari anak-anak yang terkena penyakit gagal ginjal akut menggugat sejumlah perusahaan farmasi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perusahaan-perusahaan itu dinilai bertanggung jawab karena telah memproduksi obat yang memicu penyakit gagal ginjal. “Dengan langkah ini, kami berharap ada harapan bagi para penyintas yang lebih membutuhkan,” kata Safitri Puspa Rani, ibu yang anaknya meninggal karena gagal ginjal akut.

Perusahaan-perusahaan yang masuk daftar gugatan itu antara lain PT Afi Farma dan PT Universal Pharmaceutical Industry (UPI). Berdasarkan hasil pemeriksaan BPOM, kedua perusahaan itu terbukti memproduksi obat sirop untuk anak dengan kandungan senyawa EG dan DEG di atas ambang batas. Dua senyawa itulah yang diduga menjadi pemicu gagal ginjal akut pada anak.

Perusahaan lain yang juga digugat adalah PT Tirta Buana Kemindo dan CV Mega Integra. Kedua perusahaan itu tercatat sebagai pemasok bahan baku obat untuk PT Afi Farma. Selanjutnya adalah PT Logicom Solution, CV Budiarta, dan PT Mega Setia Agung Kimia. Ketiga perusahaan tersebut menjadi penyuplai bahan baku obat untuk PT UPI. “Gugatan juga kami layangkan untuk BPOM dan Kementerian Kesehatan,” kata Safitri.

Safitri mengatakan putranya, Panghegar Bhumianak, meninggal pada 6 Oktober lalu setelah dinyatakan terkena gagal ginjal akut. Negara dinilai harus bertanggung jawab dan memberikan keadilan kepada keluarga korban.

Ulung Purnama, anggota tim kuasa hukum keluarga korban gagal ginjal akut, mengatakan gagal ginjal akut telah merengut ratusan nyawa anak-anak yang tak berdosa. Kejadian ini menunjukkan bahwa pemerintah dan perusahaan obat abai atas keselamatan warga. “Negara dan perusahaan wajib bertanggung jawab atas masalah ini demi terpenuhinya keadilan bagi korban,” kata dia.

Menurut Ulung, para tergugat dianggap melawan hukum karena tidak menjalankan kewajiban memproduksi dan mengedarkan obat yang sesuai dengan aturan. Perusahaan farmasi, produsen obat, ataupun pemasok bahan baku wajib bertanggung jawab dengan memberikan ganti rugi kepada para korban.

Penggugat menuntut BPOM memperbaiki aturan cara pembuatan obat yang baik (CPOB). Sedangkan Kementerian Kesehatan dituntut untuk menyatakan kondisi luar biasa dalam penanganan penyakit gagal ginjal akut. Tujuannya agar pemerintah menanggung biaya pengobatan semua anak yang menderita gagal ginjal akut. “Kami meminta ganti rugi Rp 2,05 miliar per orang untuk korban meninggal dan Rp 1,03 miliar per orang untuk mereka yang masih menjalani perawatan,” ujar Ulung.

Nedy Amardianto, salah satu penggugat, mengatakan pengawasan terhadap peredaran obat berada di bawah BPOM. Namun belum sekali pun BPOM meminta maaf atas munculnya kasus ini. “BPOM justru terkesan mencari kambing hitam dengan menyalahkan perusahaan farmasi,” kata Nedy. “Fungsi BPOM sebagai pengawas di mana?”

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menyatakan tidak bisa memberi tanggapan karena belum mengetahui isi gugatan itu. “Kami pelajari dulu,” ujar Nadia.

Sebelumnya, Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito mengklaim pihaknya sudah menjalankan fungsi pengawasan sesuai dengan aturan. “Dikaitkan dengan aspek kejahatan obat, sistem pengawasan Badan POM sudah sesuai dengan ketentuan,” kata Penny.

Penny menegaskan, hingga saat ini tidak ada aturan yang mengharuskan BPOM mengawasi cemaran pada produk jadi. Dia merujuk pada Farmakope Indonesia yang belum memuat aturan itu. Selain itu, kata Penny, BPOM tidak memiliki kewenangan mengawasi impor bahan pelarut propilena glikol dan polietilena glikol, yang berpotensi mengandung cemaran etilena glikol serta dietilena glikol, karena merupakan barang non-larangan dan pembatasan (lartas). (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: