Penyebab Kesemrawutan Data Penyaluran Bansos
JAKARTA – Sederet penyebab kesemrawutan data penyaluran bansos itu pun mengemuka. BPK menilai penyebab utamanya adalah validasi data yang kurang cermat, DTKS yang belum mumpuni dan mutakhir, tidak adanya prosedur operasional standar yang mengatur mekanisme umpan balik atau koreksi data penyaluran di lingkup internal Kementerian Sosial, hingga tidak adanya mekanisme kontrol berupa penyampaian data penyaluran KPM penerima bansos yang ditetapkan kepada dinas sosial kabupaten/kota.
Atas berbagai temuan tersebut, Kementerian Sosial pun memberikan penjelasan kepada BPK, seperti adanya error pada data dalam mendeteksi KPM yang sesuai dengan kriteria serta keterlambatan pengiriman pelaporan dari pihak penyalur bansos, dalam hal ini PT Pos Indonesia (Persero), yang membuat Pusat Data dan Informasi Kementerian Sosial masih menggunakan data periode sebelumnya sebagai data salur.
Berikutnya, data gagal salur itu akan diteruskan kepada Pusat Data dan Informasi untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan. Sementara itu, BPK di antaranya merekomendasikan kepada Kementerian Sosial untuk meningkatkan koordinasi internal, serta kepada dinas sosial kabupaten/kota untuk memverifikasi dan memvalidasi kelayakan atas data KPM yang terindikasi bermasalah.
Membersihkan 65 Juta Data
Menanggapi hasil pemeriksaan BPK tersebut, Staf Khusus Menteri Sosial Bidang Komunikasi dan Media Massa, Don Rozano Sigit Prakoeswa, menyebutkan pemerintah daerah senantiasa dilibatkan dalam upaya perbaikan DTKS. Sebagai contoh, sejak April 2021 hingga Juni 2023, sebanyak 65.228.196 data dibersihkan, dengan jumlah data yang dikoreksi bersama sebanyak 40.255.866 data.
“Memang pemerintah daerah hanya mengusulkan siapa saja yang masuk DTKS. Sementara untuk kuota disesuaikan dengan anggaran dan RPJMN,” ucap Don.
Don menambahkan, usulan yang masuk kemudian diproses kembali oleh Kementerian Sosial. “Untuk yang tidak bisa diproses akan keluar alasannya, misalnya apakah karena KTP nonaktif, tidak layak, data tidak lengkap, atau telah menerima bansos lain.”
Dia mengungkapkan, dalam proses penentuan kuota, Kementerian Sosial juga menyesuaikan dengan proporsi angka kemiskinan dari Badan Pusat Statistik, pemerataan atau distribusi berdasarkan jumlah penduduk miskin di masing-masing daerah, serta status penerima bansos existing. DTKS pun senantiasa menjadi acuan basis data.
“Ihwal adanya temuan penerima bansos yang tidak layak, seharusnya daerah yang menidaklayakkan itu, melakukan update kepada kami, mengusulkan mana yang masuk dan mana yang dihapus,” tuturnya.
Termasuk mengusulkan penidaklayakan penerima bansos uang sudah menjadi ASN. Sebab, ujar dia, proses pemadanan data DTKS dengan data Badan Kepegawaian Negara tidak dilakukan setiap hari.
Perbedaan Tingkat Kemiskinan
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebutkan sudah saatnya pemerintah mengkaji kembali sistem dan mekanisme pembaruan DTKS yang lebih akurat dan mumpuni berdasarkan sumber data yang valid dan kredibel.
“Penting untuk melibatkan pemerintah daerah. Begitu juga pengetatan transparansi, monitoring, dan evaluasi penyaluran bansos supaya pengusulan dan penetapan calon penerima bansos tidak asal-asalan,” ucapnya.
Berikutnya, persoalan sebaran penerima bansos juga menjadi pekerjaan rumah tersendiri sebagai salah satu titik kritis dalam penyaluran bansos. “Selama ini anggaran dibagikan secara rata nominalnya kepada penduduk yang membutuhkan di tiap daerah. Padahal tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan antara satu dan yang lain itu berbeda,” kata Yusuf.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono, berpendapat, pada praktiknya, implementasi kebijakan perlindungan sosial dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia dilakukan menggunakan basis data kemiskinan mikro, yang berbeda dengan angka kemiskinan makro dari BPS.
“DTKS berisi data sekitar 35 persen keluarga termiskin. Angka ini kurang-lebih setara dengan 95 juta penduduk, atau sekitar empat kali lipat dari angka kemiskinan resmi BPS,” ucapnya.
Menurut dia, pada kenyataannya, jumlah penduduk yang harus dilindungi dengan bansos dan dientaskan dari kemiskinan sebesar 35 persen atau jauh lebih tinggi dari angka kemiskinan resmi Indonesia yang berada di kisaran 10 persen. Apalagi kemiskinan ekstrem yang berada di kisaran 2 persen.
“Data yang ada harus mampu menggambarkan realitas kemiskinan itu agar bisa benar-benar melindungi penduduk miskin yang berada di lapis terbawah. Jangan dilakukan asal-asalan hanya untuk mengejar target penyaluran, sehingga kesannya sekadar bagi-bagi uang,” kata Yusuf. (TEM)