Perlakuan Khusus untuk Luhut
JAKARTA – Menggunakan mobil Lexus seri LX 570, Luhut Binsar Pandjaitan tiba di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis pagi (8/6/2023). Masyarakat yang berjubel di depan pengadilan membuat kendaraan yang ditumpangi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi itu berjalan lambat. Ratusan polisi segera bergerak dan dengan sigap membuka jalan.
Setelah mobil bernomor polisi B-2702-L itu lolos dari kerumunan, Luhut keluar dari kendaraan dan bergegas menuju ruang sidang. Hari itu, Luhut akan memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara pencemaran namanya, dengan terdakwa Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti.
Kehadiran Luhut menyedot perhatian pengunjung. Bahkan sempat terjadi kericuhan yang membuat hakim terpaksa menghentikan persidangan sekitar 30 menit. Setelah situasi terkendali, sidang dilanjutkan dan hakim mempersilakan Luhut memberi kesaksian.
Haris Azhar dan Fatia didakwa mencemarkan nama Luhut Binsar Pandjaitan lewat video berjudul “Ada Lord Luhut di balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga Ada”. Video itu disebar melalui akun YouTube Haris Azhar.
Video itu menayangkan perbincangan antara Fatia sebagai Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Haris sebagai Direktur Lokataru. Mereka membahas laporan riset berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”. Riset itu dikerjakan oleh Koalisi Bersihkan Indonesia. Adapun obyek yang diteliti adalah usaha pertambangan yang berlokasi di Blok Wabu, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Dalam video itu, Fatia dan Haris menyebutkan pertambangan itu digarap PT Tambang Raya Sejahtera atau Tobacom Del Mandiri—anak usaha PT Toba Sejahtera Group—yang sahamnya dimiliki Luhut. Pernyataan itulah yang kemudian dipermasalahkan. Sebab, dalam surat dakwaan, Luhut menyatakan tidak pernah memiliki usaha pertambangan yang berlokasi di Blok Wabu ataupun di wilayah Papua lainnya. Haris dan Fatia didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tentang pencemaran nama.
Pengadilan sebelumnya mengagendakan pemeriksaan terhadap Luhut pada 29 Mei 2023. Namun jaksa tidak bisa mendatangkan Jenderal Purnawirawan itu dengan alasan sedang bertugas di luar negeri. Padahal kuasa hukum Haris dan Fatia menemukan fakta bahwa Luhut pada tanggal itu berada di Jakarta dan hadir dalam rapat kabinet.
Dalam persidangan Jumat lalu, Luhut menegaskan, kehadirannya di persidangan adalah sebagai warga negara sekaligus pejabat publik. Dua entitas itu melekat pada dirinya. “Saya sebagai warga negara juga sebagai pejabat negara,” kata Luhut menjawab pertanyaan tim kuasa hukum terdakwa. “Tapi, dalam konteks ini, saya sebagai warga negara yang punya hak sama dengan Anda.”
Julius Ibrani, anggota tim kuasa hukum terdakwa, berpendapat jawaban Luhut tersebut menjadi representasi dari hak istimewa yang didapat Jenderal TNI purnawirawan itu dalam persidangan. “Kami merasakan betul sebagai kuasa hukum bahwa dalam proses persidangan seolah-olah mengikuti kehendak Luhut,” kata dia selepas persidangan. Julius mencontohkan sikap majelis hakim yang tak mempersoalkan ketidakhadiran Luhut dalam persidangan sebelumnya.
Kemudian, dalam persidangan, Luhut mengatakan tersinggung oleh kata “penjahat” yang disematkan Haris dan Fatia. Padahal, menurut Julius, kata itu tidak ada dalam berita acara pemeriksaan. Luhut juga tak mampu menunjukan ucapan Haris dan Fatia yang menuduhnya sebagai penjahat. Luhut mengatakan menerima informasi tayangan dan kata “penjahat” dari stafnya yang menonton tayangan tersebut di kanal YouTube. “Nanti bisa sama-sama dilihat lagi,” ucap Luhut yang dua kali menjelaskan pertanyaan tim kuasa hukum.
Di sisi lain, hakim justru terkesan membenarkan alasan ketersinggungan Luhut karena dituding sebagai penjahat. Hakim juga terlihat membiarkan Luhut meminta tim kuasa hukum agar berfokus pada penjelasan yang disampaikannya. Dalam substansi perkara, Julius menilai hakim tidak memeriksa detail fakta-fakta yang muncul dalam persidangan. Misalnya, tentang bukti kepemilikan bisnis tambang Luhut di Kabupaten Intan Jaya. Termasuk ketika nama Luhut masih menjadi pemegang saham mayoritas di perusahaan induk PT Toba Sejahtera Group. “Justru hakim membatasi agar bukti-bukti itu disampaikan di akhir (persidangan) saja sekaligus,” katanya. “Ini pertanda bahwa fakta tersebut dikesampingkan oleh majelis hakim.”
Dosen hukum tata negara Universitas Andalas, Ilhamdi Putra, juga memiliki kesan persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah memberi perlakuan khusus kepada Luhut. Majelis hakim dihadapkan pada stigma buruk karena tidak menjamin persidangan yang bersifat imparsial. “Kenyataannya, hakim seolah-olah takluk oleh kekuasaan sehingga tidak bersikap netral,” ujarnya.
Pendapat serupa disampaikan ahli hukum dari Universitas Islam Negeri Imam Bonjol, Roni Saputra. Perlakuan istimewa itu bisa dilihat mulai dari Luhut datang ke pengadilan. Kendaraan yang ditumpangi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi tersebut diperkenankan parkir di halaman pengadilan.
Privilese lainnya, kata Roni, terlihat saat hakim membiarkan Luhut berbicara bebas di luar substansi perkara, termasuk mengkritik pertanyaan yang disampaikan kuasa hukum terdakwa. Padahal seharusnya majelis hakim bersikap netral dan obyektif untuk menjaga muruah kuasa kehakiman. Hakim mesti menjamin tidak ada intervensi dalam persidangan. Sayangnya. muruah itu runtuh karena hakim dinilai tak kritis memeriksa Luhut sebagai saksi. “Ketika Luhut masuk ruang sidang, dia harus meletakkan jabatannya dan diperiksa sebagai orang yang mengalami adanya suatu tindak pidana,” kata Roni.
Ihwal substansi perkara, Roni menyebutkan, bukti yang disodorkan kuasa hukum terdakwa menjadi penting untuk ditelusuri. Jika bukti-bukti itu memang benar, tuduhan pencemaran nama jelas tidak beralasan. “Itu membuktikan bahwa pernyataan Haris dan Fatia bukan fitnah,” ucap dia.
Ahli hukum tata negara dan hak asasi manusia dari Universitas Gadjah Mada, Herlambang Wiratraman, menilai dakwaan terhadap Haris dan Fatia tak ubahnya seperti “yudisialisasi” politik otoritarian. Pengadilan sekadar memfasilitasi kehendak oligarki untuk memperkuat impunitas. “Pemeriksaan Luhut hari ini membuktikan bahwa peradilan masa kini punya peran signifikan dalam situasi politik yang otoriter,” ujarnya.
Persidangan ini, kata Herlambang, telah memberangus kebebasan Haris dan Fatia dalam menyampaikan kritik. Dia khawatir kriminalisasi terhadap Haris-Fatia menjadi preseden buruk terhadap kebebasan akademis. “Kalau dalam tradisi akademis, semestinya saintifik dilawan dengan saintifikasi, bukan dengan pemberangusan,” kata Herlambang. (TEM)