Berita Utama

Permintaan Maaf Presiden Harus Diikuti Evaluasi

JAKARTA — Permintaan maaf Presiden Joko Widodo atas kekurangan dalam pemerintahannya bisa diterima dengan kebesaran hati masyarakat. Akan tetapi, evaluasi atas kebijakannya tetap perlu dilakukan. Alih-alih dimaklumi, pelemahan demokrasi ataupun kemunduran reformasi yang terjadi di masa pemerintahan Presiden Jokowi membutuhkan koreksi.

Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Benny Susetyo menilai, permintaan maaf dari Presiden Jokowi harus diterima dengan kebesaran hati dan setiap masyarakat. Masyarakat dipastikan akan memaafkan, tetapi permintaan maaf itu harus menjadi bahan untuk evaluasi kebijakan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin.

”Harusnya juga menjadi kesadaran kritis setiap orang bahwa kita juga harus mengevaluasi suatu kebijakan-kebijakan dan semua kebijakan-kebijakan itu yang sesuai dengan nilai-nilai karena negara berkonstitusi. Maka, pijakan itu pada konstitusi,” ujar Benny melalui keterangan tertulis, Jumat (2/8/2024).

Evaluasi tersebut harus mencakup penilaian apakah kebijakan pemerintahan telah mengutamakan rakyat atau justru memiskinkan rakyat. ”Maka, kita harus berbesar hati, dalam arti mengevaluasi. Yang baik harus ditingkatkan menjadi bahan dari pengambil kebijakan, tetapi yang buruk harus dieksplorasi dan harus ada perubahan total,” katanya, menambahkan.

Dalam acara Zikir Kebangsaan di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (1/8/2024), itu, Presiden Jokowi meminta maaf atas kekurangannya dalam memimpin Indonesia. Presiden dengan didampingi, di antaranya, Wakil Presiden Ma’ruf Amin itu mengungkapkan, ”Dalam kesempatan baik ini, di hari pertama bulan kemerdekaan, bulan Agustus, dengan segenap kerendahan hati, izinkanlah saya dan Prof KH Ma’ruf Amin ingin memohon maaf sedalam-dalamnya atas segala salah dan khilaf selama kami menjabat sebagai presiden dan wapres.”

Presiden Jokowi menyebut sangat menyadari bahwa sebagai manusia biasa, tidak mungkin mampu menyenangkan semua pihak. Harapan semua pihak pun tak mungkin dipenuhi semua. ”Saya tidak sempurna. Saya hanya manusia biasa. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT,” katanya.

Menurut Benny, permintaan maaf Presiden Jokowi tersebut harus dimaknai dalam konteks yang lebih luas, tidak hanya konteks simbolis. ”Akan tetapi, permintaan maaf itu juga harus diimbangi dengan evaluasi menyeluruh kebijakan-kebijakan publik, yang apakah benar-benar membawa rasa keadilan dan kesejahteraan itu. Sebab, permintaan maaf itu harus dilihat dalam konteks kehidupan berbangsa Indonesia,” ujarnya.

Permintaan maaf, lanjutnya, tetap harus diimbangi dengan sebuah evaluasi untuk menatap Indonesia ke depan.

Puncak pengakuan kesalahan

Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya, Sukowidodo, juga menyebut bahwa minta maaf sebenarnya puncak pengakuan kesalahan. Bila disampaikan dari lubuk hati, berarti ada kesadaran yang tumbuh.

Masalahnya, apakah permintaan maaf bisa diterima dan menghapus kesalahan. ”Minta maaf baik. Tetapi, publik tentu tak bisa melupakan kesalahan yang pernah terjadi. Apakah permintaan maaf diterima? Ya, itu sangat tergantung pandangan publik. Yang perlu dicatat, opini bersentimen negatif selama ini sulit untuk dihapuskan. Apalagi, merebaknya isu dinasti. Ini benar-benar sesuatu yang bertentangan dengan mayoritas keyakinan publik,” tutur Sukowidodo.

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palaguna (tengah) didampingi anggota Ridwan Mansyur (kiri) dan Yuliandri membacakan putusan dugaan pelanggaran etik oleh Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang etik di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (4/7/2024). (Kompas)

Pada pemilihan presiden pada Pemilu 2024, meski tak mengungkapkan secara terbuka, Presiden Jokowi membiarkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto. Padahal, di kala menjelang pendaftaran kandidat pilpres pada 2023, usia Gibran masih 36 tahun. Sementara itu, syarat usia kandidat pilpres yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu adalah 40 tahun.

Akan tetapi, berkat uji materi terhadap syarat usia kandidat pilpres dalam UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) yang sarat pelanggaran etik, Gibran dapat maju sebagai kandidat pilpres. Pelanggaran etik itu terkait dengan putusan perkara MK yang dijatuhkan oleh Anwar Usman, yang kala itu menjabat sebagai Ketua MK dan merupakan ipar dari Presiden Jokowi.

Gibran pun dapat melenggang maju sebagai calon wakil presiden, mendampingi Prabowo Subianto yang didukung oleh sejumlah partai yang tak satu koalisi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai yang selama ini menjadi tempat Presiden Jokowi dan Gibran bernaung sebagai kader. Hingga akhir penghitungan suara, pasangan Prabowo-Gibran keluar sebagai presiden-wapres terpilih.

Selain itu, banyak catatan terkait pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, kemunduran reformasi, ataupun berkurangnya jaminan kebebasan berekspresi. Masalahnya, menurut Sukowidodo, agak sulit untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang sudah terjadi. Sebab, waktu sudah habis.

Dihubungi secara terpisah, Staf Khusus Presiden Grace Natalie menyebut, Presiden adalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Karena itu, bersamaan dengan bulan Agustus sebagai bulan lahirnya negara Indonesia dengan Proklamasi Kemerdekaan di 17 Agustus, ataupun acara zikir sebagai bentuk rasa syukur atas nikmat kemerdekaan, momen ini dinilai tepat untuk meminta maaf.

”Boleh, kan, momen doa juga sebagai waktu untuk meminta maaf. Sebagai manusia biasa, tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan,” ujarnya.

Selain itu, menurut Grace, Presiden Jokowi selalu menerima semua masukan dan kritik dengan baik. (kom/pbn)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.