Berita Utama

Pertaruhan Presiden Jokowi di Perpu Cipta Kerja

JAKARTA – Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja kini menanti persetujuan dari DPR RI sebelum resmi menjadi aturan pengganti UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Jika disetujui DPR RI, perppu tersebut berpotensi untuk digugat kembali ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono mengatakan, Perpu No 2 Tahun 2022 masih memungkinkan untuk dibawa dan diuji kembali ke MK. Hal ini terkait banyaknya penolakan terhadap perppu ini setelah MK menyebut UU Cipta Kerja cacat formil dan harus diperbaiki.

“Perpu atau UU, potensial untuk dimohonkan pengujian konstitusionalitas dan menjadi perkara di MK,” kata Fajar kepada wartawan, Senin (2/1/2021).

Oleh karena itu, menurut Fajar, MK hanya dapat dan akan menyampaikan pendapat hukum melalui putusan. MK juga tidak dapat berkomentar lebih jauh karena terkait kode etik MK. “Sekiranya benar perppu atau UU dimaksud dimohonkan pengujian, dan menjadi perkara di MK,” ujar dia.

UU Ciptaker dinilai cacat formil karena tata cara pembentukan tidak didasarkan dengan metode yang pasti, baku, dan standar. MK pun dalam putusannya memerintahkan perbaikan UU Ciptaker, dengan memberi batasan waktu selama dua tahun. Jika perppu ini nantinya digugat kembali, akan menjadi pertaruhan besar bagi Presiden Joko Widodo yang terkesan berkukuh mengegolkan aturan ini.

Salah satu pasal yang disorot kelompok buruh dalam perppu, yakni terkait penetapan upah minimum. Dalam Pasal 88D Perpu Cipta Kerja, terdapat formula untuk menghitung upah minimum bagi pekerja. Di antaranya adalah mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu, yang diatur dalam Pasal 88D Ayat 2.

Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai formula penghitungan upah minimum, diatur dalam peraturan pemerintah (PP). Namun, perpu tersebut juga mengatur bahwa pemerintah boleh menetapkan formulanya sendiri dalam menetapkan upah minimum. Namun, hal tersebut terjadi jika adanya keadaan tertentu.

“Dalam keadaan tertentu, pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D Ayat 2,” bunyi Pasal 88F.

Dalam Bab Penjelasan Perpu Cipta kerja, dijelaskan mengenai “keadaan tertentu” yang dapat membuat pemerintah membuat formula khusus penetapan upah minimum. Keadaan tertentu tersebut, di antaranya bencana yang ditetapkan oleh Presiden, kondisi luar biasa perekonomian global, dan/atau nasional seperti bencana non-alam atau pandemi.

Namun, “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan,” bunyi Pasal 90A.

Terkait upah minimum ini disorot Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Sebab, dalam Perpu Cipta Kerja, penetapan upah minimum kabupaten/kota menggunakan istilah ‘dapat ditetapkan oleh Gubernur’.

Menurut Presiden KSPI Said Iqbal, isi tersebut sama saja dengan yang diatur dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Bahasa hukum ‘dapat’, berarti bisa dan/atau tidak, bergantung pada gubernur. “Usulan buruh adalah, redaksinya adalah ‘gubernur menetapkan upah minimum kabupaten/kota’,” ujar Said Iqbal.

KSPI juga menolak formula penetapan upah minimum. Sebab, formula penetapan upah minimum karena adanya diksi ‘indeks tertentu’. Dalam hukum ketenagakerjaan, menurut Said Iqbal, tidak pernah dikenal ‘indeks tertentu’ dalam menentukan upah minimum.

“Buruh berpendapat, ini seperti memberikan mandat kosong kepada pemerintah, sehingga bisa seenaknya mengubah-ubah aturan,” ujar presiden Partai Buruh tersebut.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Arsjad Rasjid, mengatakan, adanya kepastian hukum sangat menentukan aktivitas dunia usaha dan investasi. Menurut dia, pemerintah perlu bergerak cepat untuk mengatasi kekosongan hukum yang selama ini ditunggu oleh investor serta pelaku usaha. Terutama, di tengah kondisi perekonomian global, resesi, peningkatan inflasi, dan ancaman stagflasi, penerbitan perppu disebut sangat dibutuhkan.

“Kadin sebagai representasi dari dunia usaha pada intinya menghormati keputusan pemerintah,” ujar Arsjad.

Ia menambahkan, melihat kondisi situasi ekonomi global yang tak menentu, pemerintah perlu mengeluarkan aturan yang bisa mendukung masuknya investasi, penciptaan lapangan kerja, dan menjaga pertumbuhan ekonomi sesuai target.

Namun, pada saat seperti ini, ia mengaku, banyak pelaku usaha dan investor yang masih masih menahan diri untuk melakukan investasi baru ataupun ekspansi bisnis akibat banyaknya ketidakpastian yang mereka hadapi. Mulai dari ketidakpastian ekonomi global hingga ketidakpastian hukum untuk berusaha dan berinvestasi di Indonesia.

Arsyad menuding, itu terjadi setelah UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada 25 November 2021. (REP)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *