Potensi Bahaya Angkatan Siber TNI
JAKARTA – Para pegiat demokrasi dan pengamat militer mengkritik ide pembentukan angkatan siber sebagai matra baru di tubuh Tentara Nasional Indonesia. Mereka khawatir keberadaan angkatan siber akan disalahgunakan untuk membungkam suara publik ketimbang mengantisipasi ancaman perang di era digital.
Direktur Eksekutif Imparsial Gufron Mabruri menilai belum ada urgensi untuk membentuk angkatan siber. TNI dan Kepolisian RI, perangkat pertahanan dan keamanan negara, telah memiliki divisi keamanan siber. Begitu pula Badan Intelijen Negara (BIN). “Divisi itu seharusnya kinerjanya dioptimalkan untuk menghadapi ancaman siber. Bukan membuat matra baru,” kata Gufron dilansir Tempo, Senin (21/8/2023).
Gufron mengatakan, perkembangan teknologi telah mengubah dinamika ancaman yang dihadapi oleh sebuah negara. Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat dan Rusia, telah membentuk kesatuan untuk menghadapi ancaman siber dari negara lain.
Persoalannya, menurut dia, pasukan TNI saat ini tak mempunyai perspektif menjaga pertahanan negara. Sebaliknya, tentara justru banyak mengurus keamanan sipil dan keamanan ekonomi. “TNI malah lebih banyak mengurusi urusan domestik,” ujarnya. Keterlibatan TNI dalam urusan domestik itulah yang menurut Gufron kerap menjadi biang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di ruang-ruang sipil.
Gufron khawatir, jika jadi dibentuk, angkatan siber justru akan digunakan sebagai alat membatasi kebebasan masyarakat sipil. “Belum lagi, institusi keamanan saat ini tidak transparan dan akuntabel dalam menggunakan peralatan-peralatan siber,” kata dia. “Lemahnya akuntabel itu membahayakan demokrasi dan kebebasan hak asasi manusia.”
Kabar rencana pembentukan angkatan siber, sebagai matra baru di TNI, dilontarkan oleh Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Andi Widjajanto. Berbicara dalam seminar bertajuk “Ketahanan Nasional Transformasi Digital Indonesia 2045”, pada 7 Agustus 2023, Andi menyatakan telah diminta untuk menawarkan peta jalan untuk kemungkinan menambahkan matra baru di bidang siber guna melengkapi tiga matra yang sudah ada di tubuh TNI. Salah satu acuannya adalah Singapura, yang tahun lalu membentuk angkatan siber untuk melengkapi angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara mereka.
Rapor Merah Pola Keamanan Siber Negara
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rozy Brilian punya pandangan serupa dengan Gufron. Rozy menilai, pembentukan angkatan siber sebagai matra baru di tubuh TNI berpotensi membatasi gerak masyarakat sipil di ruang digital.
Menurut dia, ide membentuk angkatan siber tak jauh berbeda dengan tim polisi virtual yang digagas Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo melalui Surat Edaran Nomor SE/2/11/2021.
Rozy mengingatkan, tujuan awal pembentukan polisi virtual adalah mewujudkan ruang siber yang bersih dan sehat. Namun, dalam praktiknya, kata dia, polisi virtual malah digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik yang disampaikan oleh publik di berbagai platform digital. Dalam catatan Kontras, tahun lalu polisi virtual menegur seorang mahasiswa asal Slawi, Jawa Tengah, yang mengkritik Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Polisi virtual juga menegur akun Surabaya Melawan yang mengkritik kunjungan Presiden Joko Widodo ke Nusa Tenggara Timur karena menimbulkan kerumunan.
“Akun Surabaya Melawan diminta menghapus. Kalau enggak mau, akan diproses secara hukum. Jadi, ada bentuk ketakutan yang dibangun di tengah masyarakat,” kata Rozy.
Rozy khawatir angkatan siber bisa melakukan hal serupa, apalagi jika diberikan kewenangan yang sangat besar dengan dalih mencegah ancaman serangan digital dari luar negeri. Dengan kewenangan yang lebih besar, angkatan siber di tubuh TNI rentan meningkatkan potensi represi terhadap ekspresi publik di ruang digital. “Saat ini saja sudah banyak pembatasan di ruang digital. Di Papua, banyak berita di-takedown secara paksa. Jadi, kami melihat akan sangat berpotensi bahaya terutama juga terhadap hak atas privasi,” ujar Rozy.
Karena itu, Rozy mendesak agar Lemhannas dan TNI menjelaskan rencana pembentukan angkatan siber kepada publik secara transparan dan akuntabel. “Bila tujuannya hanya untuk menambah angkatan, lebih baik tidak perlu. Sebab, kerja-kerja menjaga keamanan siber dari ancaman luar negeri juga masih bisa dikerjakan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) serta Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN),” ujarnya.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, turut meminta pemerintah berpikir dua kali bila ingin membentuk angkatan siber untuk kepentingan pertahanan. Dia mencermati adanya potensi penyalahgunaan yang rentan membatasi kebebasan dan kemajuan masyarakat sipil serta melanggar HAM. “Tujuannya demi mengamankan kepentingan sekelompok elite dengan melanggar hak asasi manusia,” kata Usman.
Berdasarkan pengalaman, menurut Usman, pemerintah menggunakan perangkat siber justru untuk menyerang gerakan masyarakat sipil. Amnesty International mencatat sedikitnya 90 kasus serangan digital, dengan setidaknya 148 korban, dalam periode Januari 2019 hingga Mei 2022. Para korban rata-rata berprofesi sebagai jurnalis, aktivis lingkungan, aktivis HAM, aktivis antikorupsi, aktivis tambang, aktivis buruh, akademikus, serta mahasiswa. “Kehadiran angkatan siber bisa memperparah jumlah kasus yang ada,” ujar Usman.
Di sisi lain, Usman menilai, negara selama ini menerapkan tindakan keamanan siber yang represif. Salah satu aturan yang kerap digunakan untuk membatasi kebebasan sipil adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016. Selama periode Januari 2019 hingga Mei 2022, Amnesty International mencatat, setidaknya ada 332 orang korban masyarakat sipil yang dijerat dengan dugaan melanggar UU ITE.
Rapor merah pemerintah itu juga bertambah kelam dengan tindakan memblokir akses Internet di Papua dan Papua Barat dengan dalih meredam kabar bohong. “Penggunaan teknologi siber harus sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Bukan untuk membungkam warga negara, pengawasan yang sewenang-wenang dan melanggar hukum, penyensoran, hingga penutupan akses Internet,” kata Usman.
Sebelumnya, Andi mengatakan, angkatan siber diperlukan, mengingat Indonesia menghadapi serangan digital setiap saat. Sepanjang tahun lalu, tercatat sekitar 1,2 miliar serangan siber, yang berarti 2.200 serangan setiap menit.
Menurut dia, Mabes TNI hingga Kementerian Pertahanan dalam lima tahun mendatang harus dapat meningkatkan satuan siber. Andi berharap satuan siber di Mabes TNI dipimpin oleh perwira bintang tiga.
Meski begitu, Andi mengakui bahwa usulan pembentukan angkatan siber ini masih dalam tahap awal. Sebab, beberapa kementerian dan lembaga memiliki unit siber tersendiri, seperti pada Kementerian Pertahanan, TNI, Polri, dan BSSN. “Apakah nanti berevolusi menjadi angkatan tersendiri seperti di Singapura?” kata Andi. (TEM)