Prematur Jaksa Memanggil Menteri Dito
JAKARTA – Sejumlah ahli dan pengamat hukum mengkritik Kejaksaan Agung yang buru-buru memanggil Menteri Pemuda dan Olahraga Ario Bimo Nandito Ariotedjo. Ahli hukum pidana dari Universitas Islam Negeri Imam Bonjol, Padang, Roni Saputra, menduga tim penyidik Kejaksaan sengaja hanya membawa bekal keterangan saksi dan tersangka ketika mencecar soal uang Rp 27 miliar yang diduga diterima Menteri Dito. “Semestinya penyidik menyodorkan alat bukti berupa percakapan elektronik sebelum atau setelah penyerahan uang berlangsung,” kata Roni dilansir Tempo, Selasa (4/7/2023).
Menurut Roni, tim penyidik Kejaksaan dapat menelusuri alat bukti lain berupa mobil Toyota Calya oranye yang kerap digunakan Windi Purnama—tersangka kasus korupsi proyek base transceiver station (BTS) 4G untuk mengantarkan uang saweran ke sejumlah orang serta memeriksa saksi-saksi lain yang disinyair mengetahui aliran uang tersebut.
Tim penyidik Kejaksaan Agung kemarin memanggil Ario Bimo Nandito Ariotedjo alias Dito Ariotedjo terkait dengan kasus korupsi proyek menara BTS. Menteri termuda di kabinet Presiden Joko Widodo itu disebut-sebut menerima aliran uang Rp 27 miliar. Tuduhan tersebut muncul dari hasil pemeriksaan terdakwa Irwan Hermawan yang menjadi saksi untuk tersangka Windi Purnama. Irwan Hermawan adalah Komisaris PT Solitech Media Synergy. Adapun Windi adalah orang kepercayaan Irwan. Adapun tersangka Windi juga menyatakan adanya pengiriman uang ke Dito sebagai pengaman agar kasus BTS 4G tidak diselidiki Kejaksaan Agung.
Masalahnya, Kejaksaan Agung justru menyatakan belum menemukan bukti untuk memastikan waktu penyerahan uang ke Dito. Mereka juga belum mendapati indikasi pengamanan perkara yang sedang diusut Kejaksaan Agung. Karena alasan tersebut, Roni menilai upaya penyidik meminta klarifikasi ke Dito menjadi tumpul. Roni dapat membayangkan, dalam pemeriksaan itu, Menteri Pemuda dan Olahraga dari Partai Golkar tersebut dapat dengan mudah membantah tuduhan dari Irwan dan Windi.
Roni mengingatkan, saat memeriksa seseorang, penyidik berbasis dua alat bukti yang cukup. Alat bukti itu dapat diperoleh dari keterangan saksi, bukti transaksi, dokumen, ataupun bukti dalam bentuk lain. Kalaupun semua bukti aliran uang tersebut tidak ada, dia melanjutkan, Kejaksaan Agung tak perlu repot-repot memeriksa Dito.
“Uangnya belum ditelusuri, tapi Dito sudah dipanggil,” ujar Roni. Menurut dia, penyidik semestinya memastikan dulu adanya aliran uang Rp 27 miliar ke Dito, termasuk memastikan asal-usul dan bagaimana uang itu diserahkan. Kemudian penyidik menelusuri penggunaan uang tersebut. Jika terbukti, Dito dapat dijerat dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu menyatakan bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana, sebagaimana dimaksudkan Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dipidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur, pun mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Agung menjerat nama-nama lain dalam kasus korupsi yang merugikan negara Rp 8,03 triliun ini. “Kalau jaksa serius ingin membantah bahwa perkara ini bukan politis, aliran uang ke berbagai pihak harus diungkap secara jelas,” katanya.
Isnur mencontohkan penyidikan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika membongkar kasus korupsi e-KTP. Pada 2017, KPK mengembangkan kasus tersebut dengan menyeret Setya Novanto sebagai tersangka, yang saat itu menjabat Ketua Dewan Perwakilan Rakyat. Dari kasus ini, Isnur yakin banyak pemain yang turut terlibat kasus korupsi BTS Kementerian Kominfo.
Isnur meminta Kejaksaan Agung mengusut dugaan aliran uang yang mengarah ke Dito tersebut. Utamanya membuktikan peran Dito yang disebut-sebut memiliki pengaruh untuk mengurus perkara di Kejaksaan Agung. Juga atas orang-orang lain di Komisi I DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diduga turut disebut-sebut menerima saweran dari para tersangka korupsi proyek BTS 4G.
Abdul Fickar Hadjar, ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, menilai siapa pun yang menikmati uang atau aset dari hasil korupsi itu bisa ditetapkan sebagai bagian dari pelaku korupsi. “Kejaksaan harus mengejar. Jangan hanya berhenti di satu pihak,” ujar dia, kemarin.
Fickar menjelaskan, konsep dalam tindak pidana itu bisa saja tidak tunggal, melainkan ada orang lain sebagai penyerta. Dia mengatakan, dalam surat dakwaan kasus korupsi, selalu tercantum Pasal 55 dan 56 KUHP. “Artinya, itu untuk menjaring. Kalaupun bukan pelaku utama, bisa dikualifikasi sebagai orang yang membantu, yakni Pasal 56 KUHP atau turut serta melakukan, Pasal 55 KUHP,” kata Fickar. (TEM)