Prioritas Permohonan Penghapusan Keserentakan Pilkada 2024
JAKARTA – Mahkamah Konstitusi diminta memprioritaskan penanganan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya terkait pasal yang mengatur tentang keserentakan pelaksanaan pemilihan kepala daerah pada November 2024. Peradilan konstitusi itu diminta untuk menyatakan bahwa ketentuan pengunduran pilkada di sejumlah wilayah dan pemangkasan masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2020 bertentangan dengan konstitusi.
Dengan demikian, pelaksanaan pilkada diminta dikembalikan sesuai dengan periodisasi masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan. Daerah yang sebelumnya melaksanakan pilkada tahun 2017 kembali menggelar pilkada pada 2022 sesuai dengan siklus lima tahunan. Begitu pula daerah yang sebelumnya menggelar pilkada tahun 2018 kembali melaksanakan pilakada pada tahun 2023. Masyarakat tak perlu lagi menunggu satu-dua tahun hingga 2024 untuk menentukan kepala daerah.
Permohonan uji materi terhadap ketentuan pilkada serentak tahun 2024 salah satunya diajukan Bartolomeus Mirip dan Makbul Mubarak. Keduanya menguji konstitusionalitas Pasal 201 Ayat (7) UU Pilkada yang mengatur, ”Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024”. Ayat selanjutnya mengatur bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pilkada di seluruh wilayah dilaksanakan pada bulan November 2024.
”Dengan banyaknya kepala daerah yang akan berakhir masa jabatannya mulai April tahun ini, kami mohon agar perkara ini diprioritaskan pemeriksaannya,” ujar Ahmad Irawan, kuasa hukum pemohon, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, Senin (24/1/2022). Atas permintaan tersebut, hakim konstitusi Aswanto yang memimpin persidangan berjanji melaporkan hal tersebut dalam rapat permusyawaratan hakim untuk kemudian diambil keputusannya oleh MK.
Seperti diketahui, sebanyak 101 kepala daerah, termasuk tujuh gubernur, akan mengakhiri masa jabatannya pada tahun ini. Ketujuh gubernur tersebut adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 16 Oktober 2022, Gubernur Banten Wahidin pada 12 Mei 2022, Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman, Gubernur Gorontalo Rusli Habibie, Gubernur Sulawesi Barat Ali Baal, Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan, dan Gubernur Aceh Nova Iriansyah pada 5 Juli 2022. Mengacu UU Pilkada di mana kepala daerah pengganti akan dipilih pada 2024, ke-101 wilayah provinsi tersebut akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah yang ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri.
Bartolomeus Mirip yang kalah dalam Pilkada Kabupaten Intan Jaya pada tahun 2017 dan berencana maju pada pilkada berikutnya merasa dirugikan dengan ketentuan penyelenggaraan pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2024. Pasalnya, ia harus menunggu tujuh tahun untuk mengikuti pemilihan tersebut. Padahal, ia sudah melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan tokoh adat di wilayah tersebut, merawat basis pemilihnya, dan juga turut serta meredakan konflik yang terjadi di tanah Intan Jaya.
Dalam permohonannya, Bartolomeus juga mengaku dirugikan karena ketentuan tersebut mengakibatnya adanya kekosongan masa jabatan bupati dan wakil bupati Intan Jaya selama dua tahun. Padahal, Intan Jaya masih merupakan daerah konflik sehingga harus dipimpin oleh kepala daerah definitif yang terpilih melalui proses pemilihan. Ini terkait dengan legitimasi masyarakat untuk memimpin daerah.
Bartolomeus juga menyatakan kekosongan jabatan bupati definitif yang kemudian diisi oleh penjabat bupati justru akan membuat pemerintahan di daerahnya menjadi tidak efektif. Selain itu, juga tidak dapat diharapkan menyelesaikan konflik karena penjabat bupati tidak memiliki ikatan emosional dengan masyarakat dan belum tentu mengenal wilayah yang akan dipimpinnya.
Sementara itu, Makbul sebagai pemohon II merupakan pemilih Pilkada Tolitoli yang dilaksanakan pada 2020. Ia merasa dirugikan sebab bupati pilihannya hanya akan menjabat kurang dari empat tahun karena keterlambatan waktu pelantikan. Pilkada Tolitoli seharusnya digelar pada 2020, tetapi karena pandemi diundur hingga tahun 2021.
Dalam paparannya pada sidang sebelumnya, Ahmad Irawan mengungkapkan, pilkada bukan merupakan jenis pemilu yang secara konstitusional harus diserentakkan sehingga berdampak pada pemotongan masa jabatan atau memundurkan waktu pemilihan. Apalagi sesuai Pasal 60 UU Pemerintahan Daerah, masih berlaku ketentuan masa jabatan kepala daerah adalah lima tahun terhitung sejak pelantikan dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Ia sepakat, pilkada harus dilakukan serentak demi efektivitas, efisiensi, dan menghasilkan pemimpin daerah yang representatif. Namun, keserentakan yang dimaksud haruslah dilakukan secara terencana dan bergelombang sesuai dengan akhir masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan. Daerah yang menggelar pilkada pada 2015 akan kembali menggelar pilkada pada 2020, yang sebelumnya 2017 kembali pada 2022, dan yang sebelumnya 2018 kembali pada 2023. Dengan demikian, tidak terjadi kekosongan pemimpin daerah karena adanya penundaan selama dua tahun atau satu tahun karena waktu pelaksanaan pilkada diundur hingga 2024.
Menurut Ahmad Irawan, penjabat kepala daerah yang ditunjuk untuk mengisi kekosongan selama masa tunggu tersebut tidak memiliki legitimasi politik karena tidak pernah dipilih oleh rakyat dan pemilihannya tidak melibatkan rakyat. (KOM)