Berita Utama

Proses Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Tak Transparan

JAKARTA – Pegiat demokrasi dan ahli hukum tata negara mengkritik rencana Kementerian Dalam Negeri melantik 101 penjabat kepala daerah, tahun ini. Proses penunjukan penjabat kepala daerah itu dianggap tak transparan dan dapat memicu sentralistik kekuasaan.

Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Nurlia Dian Paramita, menduga ada gelagat buruk pemerintah dalam proses penunjukan penjabat kepala daerah, baik bupati, wali kota, maupun gubernur, di 101 daerah pada tahun ini. “Sentralistik kekuasaan itu tergambar jelas karena sistem penunjukan penjabat kepala daerah tidak ada yang tahu kualifikasinya,” kata Paramita, Rabu (18/5/2022)

Menurut dia, selama ini Kementerian Dalam Negeri tidak transparan dalam proses pemilihan dan penempatan penjabat kepala daerah. Ia mencontohkan penunjukan lima penjabat gubernur yang dilantik pada Kamis pekan lalu.

Kelima penjabat gubernur itu adalah Ridwan Djamaluddin di Bangka Belitung, Al Muktabar di Banten, Hamka Hendra Noer di Gorontalo, Akmal Malik di Sulawesi Barat, dan Paulus Waterpauw di Papua Barat. Ridwan adalah Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Al Muktabar menjabat Sekretaris Daerah Provinsi Banten, Hamka menjabat Staf Ahli Bidang Budaya Sportivitas Kementerian Pemuda dan Olahraga. Lalu, Akmal adalah Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri serta Paulus Waterpauw menjabat Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan Kementerian Dalam Negeri.

Paramita mengatakan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian tak transparan dalam proses penunjukan kelima penjabat gubernur tersebut. Kondisi itu membuka peluang penjabat kepala daerah yang dipilih merupakan titipan partai politik atau kepentingan politik tertentu. “Ekses jangka panjangnya, selain menjadi komoditas elektoral, berpotensi terjadi penyalahgunaan birokrasi dengan motif terselubung,” kata Paramita.

Tahun ini, Kementerian Dalam Negeri akan mengangkat 101 penjabat kepala daerah. Lalu, pada tahun depan, Kementerian akan kembali mengangkat 170 kepala daerah. Mereka menjabat selama satu tahun dan dapat diangkat kembali. Status penjabat kepala daerah akan berlangsung hingga usai pemilihan kepala daerah serentak pada akhir 2024.

Kewenangan dan tanggung jawab penjabat kepala daerah akan serupa dengan kepala daerah hasil pemilihan langsung. Mereka hanya dilarang memutasi pegawai, membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya, membuat kebijakan pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat sebelumnya, dan membuat kebijakan yang bertentangan dengan program pembangunan pejabat sebelumnya.

Proses pengangkatan penjabat kepala daerah ini dianggap tak merujuk pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022 tentang syarat pengisian penjabat kepala daerah. Hakim Konstitusi meminta pemerintah membuat aturan turunan dan mensyaratkan pemilihan penjabat berbasis kualifikasi kebutuhan daerah masing-masing.

Namun, kata Paramita, Kementerian Dalam Negeri menabrak semua ketentuan tersebut. Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menguatkan pendapat Paramita. Titi mengatakan pemerintah seharusnya menaati putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan jalan membuat aturan teknis proses pemilihan penjabat kepala daerah secara terbuka, transparan, akuntabel, serta memperhatikan kebutuhan dan aspirasi daerah.

“Ini bisa memperkuat spekulasi soal agenda terselubung di balik pengisian posisi penjabat kepala daerah,” kata Titi.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Charles Simabura, mengatakan proses penunjukan ratusan kepala daerah ini akan bergantung pada subyektivitas Kementerian Dalam Negeri karena tidak melibatkan publik, termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. “Menjadi persoalan karena penunjukan penjabat tidak dilakukan dengan transparan dan berpotensi memunculkan konflik kepentingan,” kata dia.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan penjabat kepala daerah harus menjaga stabilitas politik, pemerintahan, dan keamanan di wilayah yang dipimpinnya. “Kebijakan-kebijakan pemerintah pusat tolong diterjemahkan dalam penanganan pandemi Covid-19 untuk konteks wilayah masing-masing,” kata Tito.

Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, Agus Pramusinto, mengingatkan pemerintah agar lebih selektif dalam mengangkat penjabat kepala daerah. Pemerintah mesti betul-betul bisa menjamin netralitas penjabat kepala daerah dalam menghadapi Pemilu 2024 dan pemilihan kepala daerah serentak 2024.

“Seorang penjabat kepala daerah perlu memiliki rekam jejak bersih dari perbuatan melanggar netralitas ASN pada masa lalu,” kata Agus. (ANT)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.