Putusan MK Selamatkan Demokrasi dari Jerat Politik Kartel
JAKARTA — Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurunkan ambang batas atau threshold pencalonan kepala daerah di Pilkada 2024, dari 20 persen menjadi 7,5 persen, dinilai sebagai langkah signifikan untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia dari jerat politik kartel. Penurunan threshold ini membuka peluang bagi lebih banyak partai politik untuk mengusung calon gubernur sehingga memberikan pilihan lebih luas bagi pemilih.
Budayawan Antonius Benny Susetyo mengatakan, demokrasi sebagai bentuk pemerintahan yang ideal, didasarkan pada prinsip-prinsip kebebasan, keadilan, dan partisipasi rakyat. Namun, realitas politik menunjukkan bahwa prinsip-prinsip tersebut sering kali terkikis oleh praktik-praktik politik yang tidak sehat.
”Dalam konteks Indonesia, fenomena politik kartel semakin jelas terlihat dalam dinamika pemilihan kepala daerah, khususnya di Jakarta,” ujar Benny, dalam pernyataan pers di Jakarta, Selasa (20/8/2024).
Lewat Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa Pasal 40 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Pasal tersebut sebelumnya mewajibkan parpol atau gabungan parpol untuk mendapatkan minimal 20 persen kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi suara sah dalam pemilu legislatif di daerah terkait untuk mendaftarkan pasangan calon (paslon) kepala daerah.
Lewat putusannya, MK memberikan tafsir baru yang mengatur bahwa pendaftaran pasangan calon kepala daerah kini hanya didasarkan pada perolehan suara sah dengan persentase tertentu, yang disesuaikan dengan jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap (DPT) di provinsi atau kabupaten/kota. Untuk Jakarta, misalnya, setiap parpol dapat mengajukan calon kepala daerah selama memiliki 7,5 persen kursi di DPRD Jakarta.
Menurut Benny, langkah MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menurunkan threshold pencalonan gubernur merupakan upaya penting dalam mengembalikan esensi demokrasi yang telah lama tergerus oleh kepentingan segelintir elite politik.
Benny menegaskan bahwa penurunan threshold ini membuka peluang bagi lebih banyak partai politik untuk mengusung calon gubernur, sehingga memberikan pilihan lebih luas bagi pemilih. ”Dengan penurunan threshold ini, kita bisa melihat lebih banyak kandidat yang memiliki rekam jejak baik dan prestasi untuk muncul dalam Pilkada Jakarta. Ini memberikan kesempatan kepada pemilih untuk memilih calon yang benar-benar mereka kehendaki, bukan sekadar boneka politik yang diusung oleh kartel politik,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Benny menjelaskan, threshold yang tinggi selama ini telah membatasi kompetisi politik dan mempersempit ruang partisipasi. Dengan adanya penurunan threshold, partai-partai kecil yang sebelumnya kesulitan mencalonkan kandidat, kini memiliki kesempatan lebih besar untuk terlibat dalam proses politik.
”Keputusan MK ini merupakan upaya nyata untuk menyelamatkan demokrasi kita dari cengkeraman politik kartel dan mengembalikan kedaulatan rakyat yang sejati,” tegas Benny.
Benny juga mengapresiasi langkah MK yang dinilainya berpihak kepada rakyat, bukan pada kepentingan sempit kartel politik. Menurut dia, keputusan ini dapat menjadi pelajaran penting tentang pentingnya membangun demokrasi yang kreatif dan partisipatif. ”Demokrasi yang sehat adalah demokrasi di mana partisipasi rakyat diutamakan, di mana pilihan rakyat dihargai dan diakomodasi, bukan diabaikan atau dimanipulasi,” kata Benny.
Benny menyampaikan harapan agar semua pihak yang peduli dengan masa depan demokrasi di Indonesia dapat mendukung dan mengapresiasi langkah MK ini. Ia menekankan pentingnya menjaga prinsip-prinsip keadilan, partisipasi, dan kedaulatan rakyat dalam setiap proses politik di Indonesia.
Senda dengan Benny, Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (Kornas JPPR), Rendy NS Umboh, menyambut positif putusan MK yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah.
Rendy menyebut keputusan ini sebagai harapan baru bagi demokrasi yang sehat. Sebab, sebelumnya, timbul banyak kekhawatiran terkait fenomena ”borong” partai yang memunculkan calon tunggal melawan ”kotak kosong” dalam pilkada. ”Putusan MK hari ini menjadi harapan sehatnya demokrasi,” ujar Rendy.
Ia menjelaskan bahwa sebelum putusan ini, demokrasi di Indonesia berada dalam keadaan mengkhawatirkan dengan adanya praktik politik yang menutup peluang banyak kandidat untuk maju, sehingga merusak esensi demokrasi.
”Kemarin kita diperhadapkan dengan berbagai kekhawatiran terkait ‘borong’ partai, yang menyisihkan banyak kandidat dan menyisakan ‘kotak kosong’ sebagai penanda awal ‘sakitnya demokrasi’,” lanjutnya.
Menekan mahar politik
Menurut Rendy, dengan diubahnya threshold pencalonan kepala daerah dari jalur partai politik menjadi sama atau bersesuaian dengan persyaratan calon dari jalur perseorangan (6,5–10 persen), potensi munculnya banyak kandidat akan meningkat. Menurut dia, hal itu akan mengurangi peluang calon tunggal serta menurunkan praktik mahar politik. ”Kalau kandidatnya banyak, masyarakat pemilih punya kebebasan mengekspresikan pilihannya, dan punya banyak referensi untuk memilih,” tambah Rendy.
Meski begitu, Rendy juga memberikan catatan kritis terhadap konsistensi putusan MK akhir-akhir ini. Ia menyoroti ketidakkonsistenan MK dalam beberapa putusan, seperti dalam kasus threshold pencalonan presiden yang hingga kini tidak diubah oleh MK.
”Misalnya, putusan MK terkait threshold pencalonan Presiden, MK tidak mau mengubah pendiriannya, tetap mengatakan bahwa itu open legal policy, walaupun pasal 6A UUD 1945 secara jelas mengatur pencalonan Presiden dan Wakil Presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik, tanpa menyebut soal persentase atau batasan lainnya,” jelas Rendy.
Rendy juga memberikan kritik terhadap MK yang dinilainya sering mengubah persyaratan di detik-detik terakhir, terutama menjelang pemilu atau pilkada. ”Kritik terhadap MK juga harus ada, karena mengubah persyaratan di deadline seperti ini kurang bagus dan sudah terjadi berturut-turut dari pemilu ke pilkada. MK bisa dipandang tidak lagi sehat, inkonsistensi, dan lebih mengedepankan putusan yang politis ketimbang yang berdasarkan konstruksi hukum konstitusi,” tutup Rendy.
Menurut Rendy, meski putusan MK kali ini memberikan nuansa positif bagi demokrasi dalam konteks pilkada, tetap ada kebutuhan untuk terus mengawasi dan mengkritik MK agar tetap konsisten dan berpegang teguh pada konstitusi, tanpa tunduk pada tekanan politik.
Rendy juga berharap agar ke depan, MK bisa lebih konsisten dan tegak lurus terhadap konstitusi, terutama terkait dengan presidential threshold. Ia menekankan bahwa presidential threshold menyangkut syarat keterpilihan presiden yang telah diatur dengan jelas dalam UUD 1945. (kom/pbn)