Berita Utama

Resah Guru Menyongsong Kampanye Pemilu

JAKARTA – Organisasi profesi guru turut mengkritik putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan peluang kepada peserta pemilihan umum untuk menggelar kampanye di tempat pendidikan. Mereka khawatir putusan ini tak hanya berpotensi menyeret guru dan murid ke kegiatan politik elektoral, tapi juga bisa mengganggu proses belajar di sekolah.

Kepala Bidang Advokasi Guru pada Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Heri, menilai kegiatan kampanye di sekolah akan menjadi beban baru bagi siswa, guru, dan orang tua murid. Aktivitas di sekolah bakal bertambah dengan adanya sosialisasi dari peserta pemilu. “Secara langsung atau tidak bakal berdampak terhadap aktivitas pedagogi yang terdistorsi menjadi ajang saling berebut simpati untuk politik kekuasaan,” kata Iman dilansir Tempo, Rabu (23/8/2023).

Imam juga khawatir kegiatan kampanye akan menjadikan sekolah sebagai palagan peserta pemilu untuk bertarung menarik massa. Alih-alih bermuatan pendidikan politik, kampanye peserta pemilu cenderung sarat akan upaya mobilisasi dukungan. Kondisi tersebut, kata Iman, berpotensi memantik tindakan perundungan di antara para siswa, guru, dan orang tua murid yang dianggap punya pilihan politik berbeda.

“Sebagai contoh, siswa yang pilihan politiknya berbeda dari pilihan mayoritas murid lain rentan dirundung oleh teman-temannya. Apalagi jika materi kampanye kandidat atau parpol sudah mengarah pada isu politik identitas,” kata Iman.

Di sisi lain, menurut Iman, aktivitas kampanye di sekolah berisiko menimbulkan kerusakan pada lahan dan bangunan. Penyelenggara sekolah bisa juga mengalami kehilangan aset berupa sarana dan prasarana pendidikan lainnya. “Siapa yang bertanggung jawab? Ini jelas akan membebani sekolah,” ujarnya.

Dia waswas jika anggaran pendidikan pada akhirnya harus memikul beban dari dampak kampanye Pemilu 2024. “Akhirnya anggaran pendidikan dituntut mensubsidi pemilu yang juga sudah ada anggarannya.”

Masa kampanye Pemilu 2024 akan dimulai pada 28 November mendatang. Sepekan terakhir, kabar dibolehkannya kegiatan kampanye di lahan dan gedung sekolah telah menjadi buah bibir di antara para guru sekolah menengah atas (SMA) dan sederajat.

Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan Pendidikan P2G, Feriansyah, mengatakan diperbolehkannya kampanye di sekolah merupakan sebuah langkah mundur bagi dunia pendidikan. Dia mengingatkan, negara-negara dengan sistem pendidikan dan demokrasi yang maju di kawasan Eropa bagian utara dan Amerika bagian utara bahkan mengharamkan sekolah menjadi arena pertarungan politik elektoral partai politik serta kandidat presiden. “Pendidikan politik di sekolah itu harus, tapi kampanye kandidat dan partai jangan di sekolah,” kata Feriansyah.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga mengkritik putusan MK yang menegaskan kampanye boleh digelar di tempat pendidikan. FSGI menilai larangan kampanye di tempat pendidikan semestinya mutlak diberlakukan tanpa syarat.

Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, khawatir akan besarnya relasi kuasa dan uang dalam institusi pendidikan. Kampanye di sekolah, kata dia, sangat berbahaya bagi netralitas lembaga pendidikan di masa mendatang. “Apalagi jika yang berkampanye adalah kepala daerah setempat, relasi kuasa ada dan bahkan bisa menggunakan fasilitas sekolah tanpa mengeluarkan biaya,” kata Heru.

Karena itu, Heru mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat aturan teknis yang detail ihwal kegiatan kampanye di tempat pendidikan, seperti jenjang sekolah dan waktu yang diperbolehkan. Begitu pula Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat pusat maupun daerah juga harus mengawasi ketat proses kampanye di sekolah. “Terutama sekolah negeri yang tak mungkin menolak perintah kepala daerah inkumben,” kata Heru. (TEM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.
%d blogger menyukai ini: