Berita Utama

Revisi Otsus Papua Bentuk Resentralisasi Kekuasaan

JAKARTA – Revisi UU Otonomi Khusus atau Otsus Papua dinilai sebagai upaya resentralisasi kekuasaan dari pemerintah daerah Papua dan Papua Barat kembali ke pemerintah pusat. Majelis Rakyat Papua (MRP) berharap Mahkamah Konstitusi (MK) dapat mengabulkan uji materi mereka terhadap delapan pasal yang ada di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua.

Wakil Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Yoel Luiz Mulait dalam acara media briefing yang diselenggarakan Public Virtue Research Institute (PVRI), Rabu (23/2/2022), menyampaikan, MRP saat ini sedang menunggu putusan MK terhadap uji materi delapan pasal di UU No 2/2021 tentang Otsus Papua yang dianggap merugikan rakyat Papua.

Delapan norma yang diuji konstitusionalitasnya itu adalah Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 59 Ayat (3), Pasal 68A, Pasal 76, dan Pasal 77 UU Otsus Papua. MRP menilai, delapan pasal itu melanggar hak konstitusional mereka sebagai orang asli Papua (OAP). Pemohon yang merupakan respresentasi kultural OAP untuk melindungi hak-hak OAP yang menghormati adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup umat beragama memiliki kedudukan hukum dan kepentingan langsung atas revisi UU Otsus Papua tersebut.

”Revisi UU Otsus Papua dilakukan secara sepihak oleh elite politik di pemerintah pusat. Kami MRP tidak diajak dialog secara inklusif dan komprehensif sebelum UU itu direvisi,” kata Yoel.

Selain Yoel, narasumber yang hadir dalam diskusi daring itu adalah anggota Pokja Masyarakat Adat MRP Minggus Madai, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dan Direktur Eksekutif Public Virtue Research Institute (PVRI) Miya Irawati.

Menurut MRP, revisi kedua UU Otsus Papua tersebut tidak memperbaiki keadaan di Papua, tetapi justru menjadi sinyal buruk demokratisasi di Indonesia, khususnya di Papua. Norma-norma pasal yang ada di UU itu justru membuat pemerintah pusat semakin meminggirkan aspirasi OAP. Proses politik yang seharusnya ditempuh dalam perancangan UU Otsus Papua adalah penciptaan ruang-ruang dialog dan pemberian ruang berpendapat bagi masyarakat. MRP berusaha untuk mengakomodasi aspirasi politik OAP dengan menciptakan kantong-kantong aspirasi. Namun, upaya itu justru menemui tindakan represif dari aparat penegak hukum.

”Pada saat penyusunan regulasi itu, rapat dengar pendapat (RDP) yang digelar di Wamena, Merauke, Sentani, Biak, dan Nabire justru berusaha dihalang-halangi aparat keamanan. Bahkan, di Merauke, sejumlah anggota MRP ditangkap dan diborgol, tidak diperbolehkan meninggalkan bangunan hingga kami harus menyewa pesawat untuk memulangkan mereka,” ujar Yoel lagi.

Adapun substansi pasal-pasal di UU Otsus Papua itu juga dianggap tidak memenuhi aspirasi OAP. Kewajiban pemerintah pusat yang diamanatkan oleh UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua hanya empat yang berhasil direalisasikan, yaitu pengangkatan kepala daerah orang asli Papua (OAP), pembentukan MRP, pelimpahan kewenangan legislatif kepada Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), dan pemberian status Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua.

“Amanat lainnya, termasuk pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsilisasi guna membina perdamaian pasca kekerasan di Papua, juga belum direalisasikan oleh negara,” kata Yoel.

Minggus Madai menambahkan, UU Otsus Papua dinilai tidak membawa dampak baik, tetapi justru memperburuk situasi di Papua. Selama ini, keinginan OAP adalah otsus yang terjadi selama 20 tahun sejak 2001 dievaluasi terlebih dulu sebelum UU direvisi. Otsus yang berjalan selama 20 tahun itu dianggap tidak berjalan secara maksimal.

”Hari ini, masalah masih bertumpuk di Papua. Ada masalah pelanggaran HAM yang tidak diproses hukum dan dituntaskan, tumpang tindih aturan di Papua hingga pembangunan yang Jawasentris dan tidak memperhatikan kebudayaan dan adat Papua,” kata Minggus.

Menurut Minggus, program pembangunan infrastruktur di Papua yang dilakukan oleh Presiden Jokowi belum mampu menuntaskan persoalan secara komprehensif untuk masyarakat Papua. Kunjungan presiden yang berulang kali ke Papua juga dianggap hanya formalitas dan kurang membuka dialog inklusif dengan warga Papua. Alhasil, pembangunan yang dilakukan masih menggunakan paradigma top down. Luka dan trauma masyarakat Papua terhadap kekerasan politik dan militer pada masa lalu pun tak kunjung sembuh. Justru, OAP semakin menilai bahwa negara tidak tulus terhadap orang Papua.

”Misalnya, terkait dengan konflik bersenjata di Lanny Jaya dan Intan Jaya, Papua. Mengapa tidak pernah ada dialog yang komprehensif untuk memediasi. Tetapi, justru mereka dilabeli teroris. Mengapa bupati, DPR, MRP, Pangdam, dan Kapolda Papua tidak dipanggil untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan dialog secara damai?” tanya Minggus.

Minggus juga mempertanyakan terkait dengan kebijakan pemekaran wilayah di Papua. Menurut rencana, Papua akan dibuat menjadi empat provinsi dengan penambahan Provinsi Papua Barat Daya dan Papua Selatan. Padahal, masyarakat Papua jumlahnya hanya sedikit. Total penduduk Papua dan Papua Barat hanya sekitar 5 juta jiwa. Jika dimekarkan menjadi empat provisni, rata-rata satu provinsi hanya 1 juta penduduk. Kebijakan ini dianggap tidak menyelesaikan masalah, tetapi hanya menambah raja-raja kecil dan kekuasaan di Papua.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam keterangan resmi, 17 Juli 2021, pernah mengatakan, dengan direvisinya UU Otsus Papua, pemberian dana otsus Papua yang seharusnya berakhir pada November 2021 akan diperpanjang selama 20 tahun hingga 2041. Hal itu akan membuat kesejahteraan Papua dan Papua Barat semakin cepat.

Alokasi dana otsus juga ditambah. Jika sebelumnya hanya 2 persen dari total dana alokasi umum (DAU) nasional, kini jumlahnya ditambah menjadi 2,25 persen dari DAU. Dana akan diberikan dalam dua jenis, salah satunya block grant atau bantuan hibah yang akan diberikan langsung oleh pemerintah pusat. Selain itu, ada dana special grant atau sejenis dana abadi yang bisa dicairkan jika ada proposal kegiatan yang akan dilakukan pemerintah daerah.

”Dana otsus Papua ini akan dimaksimalkan untuk pembangunan kesejahteraan di Papua. Penggunaannya tidak lagi dibiarkan tanpa pertanggungjawaban seperti dulu. Pemda akan didampingi pemerintah pusat dalam penggunaan dana tersebut,” kata Mahfud.

Penambahan dana otsus itu merupakan salah satu materi dalam revisi UU Otsus Papua yang disahkan DPR dan pemerintah dalam rapat paripurna, Kamis (15/7). Ada 20 pasal yang disepakati DPR dan pemerintah. Tiga pasal revisi merupakan usulan pemerintah. Kemudian 15 pasal revisi di luar usulan pemerintah. Selain itu, ada pula penambahan dua pasal baru, yakni Pasal 6A dan 68A.

Mahfud berharap dengan adanya revisi UU Otsus Papua, tidak ada lagi isu Papua merdeka. Untuk itu, ia telah berbicara dengan para duta besar RI yang bertugas di sejumlah negara sahabat terkait dengan pengesahan revisi UU Otsus Papua.

Selain meningkatkan kesejahteraan serta peran orang asli Papua dalam pemerintahan dan pembangunan, pemerintah juga berjanji akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua lewat kerja sama Kementerian Hukum dan HAM dengan Kejaksaan Agung dan Komisi Nasional HAM. ”Kami akan menunjukkan kepada dunia bahwa penyelesaian kasus HAM di Papua sama dengan daerah lain di Indonesia sehingga isu ini tidak dimainkan setiap tahunnya di dunia internasional,” kata Mahfud.

Tunda pemekaran

Usman Hamid juga mengamini kekecewaan yang disampaikan oleh MRP. Usman memandang bahwa UU No 2/2021 luput dari perspektif hak-hak OAP sebab tidak dirumuskan melalui partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat secara bermakna.

”Dengan tidak melibatkan MRP dalam proses penyusunannya, negara dianggap tidak merekognisi kedudukan MRP sebagai representasi kultural OAP, sebagaimana diamanatkan pada UU No 21/2001,” ujar Usman.

Usman juga mendesak agar pemerintah menunda proses-proses pemekaran di provinsi Papua dan fokus untuk mendorong pembentukan pengadilan HAM, komisi kebenaran dan rekonsiliasi, serta komnas HAM bagi Papua.

”Kami berharap bahwa proses pemekaran provinsi yang direncanakan atas Papua, setidaknya dapat ditunda sambil menunggu putusan MK agar kita dapat melihat apakah hak-hak kekhususan bagi Papua benar-benar dilindungi oleh negara,” ujarnya.

Sementara itu, Miya Irawati berpendapat, jika rencana pemekaran wilayah yang ada di Papua justru menggambarkan upaya untuk pemenuhan kepentingan politik negara di Papua dalam perspektif yang Jakarta-sentris, dan pemisahan kekuatan politik masyarakat akar rumput.

”Pendekatan negara di Papua yang selalu mengedepankan paradigma keamanan telah menguatkan potensi pemekaran wilayah ini yang kelak akan berimbas pada penambahan kekuatan baru dan berdampak pada distribusi pasukan keamanan yang semakin masif di pelosok Papua,” ujarnya.

Miya juga meminta negara agar situasi di Papua perlu benar-benar diperhatikan dengan mewajibkan pemerintah berdialog dengan masyarakat OAP dan mendengarkan suara OAP di setiap langkahnya. (KOM)

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Copy Protected by Chetan's WP-Copyprotect.