Revisi UU Otsus Diharap Memperkuat Perlindungan HAM
JAKARTA, papuabaratnews.co – Revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat diharapkan menjadi momentum untuk memperkuat perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia sekaligus menghentikan konflik di Papua.
UU baru yang disusun Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah itu harus kembali mengatur pendirian Pengadilan HAM serta kantor perwakilan Komnas HAM di setiap provinsi di tanah Papua.
Wakil Ketua Eksternal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin mengatakan, revisi UU Otsus Papua harus bisa menyelesaikan masalah pokok yang masih terjadi di Papua.
Setidaknya ada dua permasalahan pokok yang, menurut Amiruddin, mendesak diselesaikan dengan revisi UU tersebut. Salah satunya masalah yang mendesak yakni menjaga eksistensi dan masa depan orang asli Papua. Permasalahan mendasar lain adalah menjaga harkat dan martabat orang asli Papua agar tidak terus menjadi korban dalam kekerasan yang berulang.
”Kami melihat upaya merevisi UU Otsus Papua adalah langkah awal untuk menyelesaikan masalah yang mendesak dan mendasar itu,” kata Amiruddin dalam Rapat Kerja Panitia Khusus Revisi UU Otsus Papua di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 8 Juni 2021.
Dijelaskan, revisi UU Otsus Papua semestinya bisa menjadi modal untuk menghentikan konflik berkepanjangan yang terjadi di tanah Papua. Salah satunya dengan mengatur adanya ruang dialog dalam penyelesaian konflik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat sipil dan aparat negara. UU Otsus yang baru juga diharapkan dapat menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM sekaligus mewujudkan keadilan.
Untuk itu, ketentuan dalam Pasal 45 UU No 21/2001 tentang pembentukan perwakilan Komnas HAM, Pengadilan HAM, serta Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Papua diusulkan untuk diperkuat. Sebab, hingga 20 tahun UU Otsus Papua berlaku, amanat dalam Pasal 45 itu belum seluruhnya dipenuhi.
Saat ini, baru ada kantor perwakilan Komnas HAM di Papua, sedangkan di Papua Barat belum ada. Sementara Pengadilan HAM sama sekali belum ada, baik di Papua maupun Papua Barat. ”Revisi ini harus memastikan pembentukan dan penguatan lembaga-lembaga untuk perlindungan dan pemenuhan HAM,” tutur Amiruddin.
Anggota Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, menambahkan, siklus kekerasan di Papua tidak pernah berubah. Kondisi itu ditengarai terjadi karena rendahnya kepercayaan pada penegakan hukum. Diperlukan penegakan hukum yang adil dan transparan untuk mengembalikan kepercayaan publik. Siapa pun yang bersalah, baik aparat TNI/Polri, sipil, maupun kelompok kriminal bersenjata, harus dihukum sesuai aturan yang berlaku.
Beka juga menyoroti peran pemerintah daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua. Menurut dia, pemda masih belum maksimal dalam menjalankan fungsi-fungsi pelayanan publik.
Dalam rapat itu, Ketua Pansus Otsus Papua Komarudin Watubun menyatakan dukungan pada usulan penguatan lembaga HAM di Papua. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu pun menyampaikan komitmen, tidak akan mengubah ketentuan dalam Pasal 45 UU No 21/2001.
Revisi UU Otsus Papua justru akan dijadikan momentum untuk melaksanakan ketentuan UU No 21/2001 yang belum dilaksanakan, di antaranya pendirian Pengadilan HAM dan kantor perwakilan Komnas HAM di setiap provinsi di Papua. Sementara pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Pansus akan mencari solusi karena sudah dibatalkan MK.
”Ini menjadi tanda keseriusan dalam melihat masalah-masalah di Papua karena keberadaannya secara simbolik merupakan bentuk pelaksanaan otonomi khusus Papua,” ujarnya. (RLS/PB1)
**Berita ini Telah Diterbitkan di Harian Papua Barat News Edisi Kamis 10 Juni 2021