Revisi UU Otsus Wajib Akomodasikan Kepentingan Rakyat Papua
MANOKWARI, papuabaratnews.co — Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Papua meminta evaluasi Undang-Undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2021 tak hanya terkait bidang penganggaran. Seluruh pasal perlu dievaluasi agar kepentingan rakyat Papua lebih terakomodasi.
Dilansir Kompas.id, Ketua Panitia Khusus Otonomi Khusus DPRD Papua Thomas Sondegau di Jayapura, Papua, Minggu (26/7/2020), mengatakan, pihaknya telah menggelar pertemuan dengan perwakilan Majelis Rakyat Papua (MRP) pada Jumat (24/7/2020). Hasilnya, revisi Undang-Undang Otsus harus melibatkan warga asli Papua.
Ia menuturkan, DPRD dan MRP selaku representasi masyarakat Papua sama sekali belum dilibatkan pemerintah pusat terkait revisi UU tersebut. Padahal, RUU Otsus telah masuk dalam prioritas Prolegnas tahun 2020 yang diusulkan Kementerian Dalam Negeri.
”Kami menuntut agar revisi Undang-Undang Otsus harus transparan, melibatkan orang asli Papua, dan tak hanya menyangkut pasal 34 terkait penganggaran. Namun, revisi secara keseluruhan setiap pasalnya,” ungkap Thomas.
Ia menuturkan, terdapat sejumlah persoalan utama dalam Undang-Undang Otsus No 21/2021 yang belum mengakomodasi kepentingan warga Papua. Salah satunya, hak masyarakat asli Papua untuk mengelola sumber daya alamnya secara mandiri.
Menurut Thomas, hanya satu peraturan daerah khusus yang merupakan turunan dari Undang-Undang Otsus disetujui oleh pemerintah pusat, yakni pembentukan lembaga MRP.
”Pansus Otsus DPRD Papua telah menyiapkan rancangan revisi Undang-Undang Otsus. Isi draf ini sesuai dengan semangat untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua,” tambahnya.
Bupati Mamberamo Tengah Ricky Ham Pagawak mengakui, pelaksanaan otsus selama 20 tahun terakhir belum mampu menyelesaikan banyak persoalan di tanah Papua. Hal ini disebabkan belum ada perencanaan jangka panjang dari pemerintah pusat untuk membangun Papua melalui Undang-Undang Otsus.
”Berbicara tentang Undang-Undang Otsus jangan hanya terkait uang. Namun implementasi amanat undang-undang ini tidak berjalan dengan baik karena tumpang tindih dengan peraturan dari pemerintah pusat,” tutur Ricky.
Belum tercapai
Terkait hal ini, peneliti sekaligus Wakil Rektor Universitas Papua Manokwari Agus Sumule memaparkan, UU Otsus Papua dibentuk sejak 2001 dalam rangka memantapkan ketahanan masyarakat lokal Papua di dalam NKRI. Ketahanan masyarakat meliputi sektor pendidikan, kesehatan, ketersediaan pangan, dan pendapatan asli daerah (PAD).
Faktanya, menurut Agus, ketahanan masyarakat yang dimaksud hingga kini belum tercapai. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua dan Papua Barat masih rendah. Hingga 2019, IPM di dua provinsi, yakni Papua dan Papua Barat, masih berada di bawah rata-rata angka nasional. IPM di Papua 60,6 dan Papua Barat 63,74. Kabupaten Nduga menjadi daerah dengan IPM terendah di dunia, yakni 29,42.
Adapun PAD di Papua dan Papua Barat masih sangat rendah. Hal ini menunjukkan daerah belum mampu membiayai kegiatan pembangunannya secara mandiri.
Daerah dengan persentase PAD di atas 2 persen di Provinsi Papua Barat hanya empat dari 12 kabupaten dan satu kota. Sementara di Provinsi Papua, daerah dengan persentase PAD di atas 2 persen, sebanyak 17 daerah dari 28 kabupaten dan 1 kota.
Agus berpendapat, otonomi khusus Papua tidak akan berhasil apabila hanya terbatas pada penguatan pemerintahan. Otonomi yang sebenarnya haruslah berujung pada penguatan masyarakat hukum adat.
”Penguatan masyarakat hukum adat hanya berarti apabila hak-hak mereka atas sumber daya alam dihargai. Masyarakat harus mendapat akses pada manfaat dari pengelolaan sumber daya alam di wilayah adat mereka sehingga meningkat kesejahteraannya,” papar Agus.
John Gobay dari Dewan Adat Papua mengungkapkan, program pembangunan pemerintah pusat belum memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal Papua ruang untuk mengelola sumber daya hutan, perikanan, dan tambang secara mandiri. Ia menilai, pengelolaan sumber daya alam di Papua hanya ditujukan bagi kalangan pemodal yang memiliki izin usaha tambang, perikanan, dan hak pengusahaan hutan (HPH).
”Diperlukan kesepakatan bersama antara perwakilan pemerintah di wilayah Papua dengan pemerintah pusat untuk membicarakan revisi otsus. Dalam pertemuan ini, harus ada kesepakatan yang berpihak untuk pemberdayaan masyarakat asli Papua,” jelas John.
Staf Ahli Menteri PPN/Bappenas Oktorialdi mengatakan, sesuai arahan Presiden Joko Widodo, perlu paradigma dan cara baru untuk membuat lompatan pembangunan di Papua. Oleh karena itu, pemerintah akan mengevaluasi secara menyeluruh terkait tata kelola dan efektivitas penyaluran dana otonomi khusus.
Adapun desain baru pembangunan Papua meliputi evaluasi dan merumuskan desain baru kebijakan dana otsus, evaluasi dan perumusan revisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua.
Selain itu, kata Oktorialdi, pemerintah pusat juga akan merumuskan konsep kebijakan holistik sebagai kelanjutan Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Papua Barat, menggunakan pendekatan tematik, holistik, integratif, dan spasial (THIS) terkait pengembangan kawasan ekonomi dari hulu ke hilir. (KOM/PB1)